Tidak ada cita-cita yang tercapai dengan tiba-tiba. Seperti halnya manusia yang membutuhkan makanan untuk hidup, cita-cita juga mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika tidak, cita-cita tersebut akan pudar dan mati secara perlahan-lahan.
Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, harus diketahui dengan jelas jenis kebutuhan dan sifatnya. Kebodohan akan kebutuhan ini akan membuat jalannya semakin berliku-liku, pengorbanan juga akan lebih banyak yang terbuang. Namun pengetahuan juga tentu tidak cukup, harus ada tindak lanjut. Semakin kebutuhannya diperhatikan, semakin mudah pula jalan untuk mencapainya.
Pada dasarnya kebutuhan semua cita-cita, impian dan rencana hanyalah satu: ‘proses’. Di dalam proses ada tahapan waktu, di dalam waktu harus ada usaha, di dalam usaha dibutuhkan keistiqamahan, dan di dalam usaha dan istiqamah ini diperlukan kesabaran. Semua unsur tersebut adalah satu kesatuan ‘proses’ yang tidak bisa dipisahkan.
Antara waktu dan usaha juga mesti ada keseimbangan. Waktu diseimbangkan dengan pemenuhan hak-hak Allah Swt., hak diri sendiri dan hak orang lain. Sedangkan usaha diseimbangkan dengan kemampuan dan kondisi.
Waktu dan usaha tidak perlu dipaksakan, cukup diikuti, tapi tentu dengan memperhatikan aturan-aturannya. Sebab pemaksaan seringkali menyingkirkan hasil yang diharapkan. Jika pun hasil tersebut mungkin diperoleh dengan cara paksa, bisa diprediksikan tidak maksimal. Ibaratnya seperti sebuah paku yang lurus, namun karena ditancapkan ke dinding secara paksa dengan kekuatan penuh, ia pun menjadi bengkok.
Deny Subastian, tetangga kamar saya di Bu’uts City, Kairo, pernah menuturkan kepada saya tentang sosok tokoh yang dia kagumi: “Ahmad Dedat itu tidak langsung jadi seperti yang pertama kali kita kenal. Dia butuh puluhan tahun untuk belajar hingga menjadi kristolog terkemuka dan debator yang sangat disegani (di akhir abad 20). Dia dikenal di mata dunia bukan di masa mudanya, tapi di masa tuanya.”
Bisa dibayangkan berapa banyak waktu dan proses yang dilewati oleh Ahmad Dedat untuk menjadi tokoh besar.
Kisah perjuangan Imam Bukhari dalam menyusun karya fenomenalnya Shahih Al-Bukhari – yang telah memberikan kontribusi besar bagi masyarakat dunia dalam pemahaman Islam dari sumbernya yang asli – juga memberi pelajaran berharga betapa pentingnya sebuah proses.
Imam Bukhari bukanlah ahli hadits sejak masa kelahirannya. Seperti halnya orang lain, beliau pernah mengalami fase tidak tahu apa-apa, kemudian beralih ke fase belajar; belajar dari lingkungan, orang-orang dekat dan guru pembimbing. Dari belajar ini – seiring dengan perkembangan waktu – ilmu pengetahuannya pun semakin bertambah secara bertahap.
Dalam proses penyusunan karyanya Shahih Al-Bukhari, dia mengorbankan banyak waktu dan tenaga. Penelitian hadits dilakukannya ke berbagai penjuru negeri Arab, tanpa kenal lelah dia lalui gurun sahara yang luas membentang, angin gurun dan terik matahari dia tantang, orang-orang yang iri tak jarang ‘menghadang’. Namun, berkat proses yang tepat, akhirnya dia berhasil dengan gemilang.
Ahmad Dedat dan Imam Bukhari hanyalah dua di antara jutaan tokoh dunia yang sangat berpengaruh di bidangnya masing-masing. Tidak ada di antara mereka yang terlahir bersama ketokohannya. Dalam meraih gelar ketokohan, mereka semua melewati hukum proses yang tidak berbeda; waktu, usaha, konsintensi plus nilai-nilai keimanan bagi mereka yang mukmin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komen2nya yg damai2 aja ya Sist & Bro! Thanks.