Tanggapan Ibn Rusyd Terhadap Imam Al Ghazali Terkait Pengkafiran Filosof

Imam Al Ghazali dalam bukunya Tahafut al Falasifah telah memberikan kritik yang sangat keras terhadap para filosof dan mengkafirkan mereka terkait pendapat qidam-nya alam, Tuhan tidak mengetahui rincian peristiwa yang ada di alam, dan tidak adanya kebangkitan bagi jasad manusia.

Sehubungan dengan pengkafiran tersebut , Ibn Rusyd tampil membela para filosof. Pembelaan ini ia tulis dalam bukunya Tahafut al Tahafut. Bukunya ini menjelaskan bahwa para filosof tidak keliru terkait tiga permasalahan yang dituduhkan Imam Al Ghazali, namun Imam Al Ghazali-lah sebenarnya yang keliru. Berikut uraian tanggapan Ibn Rusyd terhadap Imam Al Ghazali.

1. Tentang Qadim-nya Alam
Ibn Rusyd sepakat dengan para filosof bahwa mengadakan sesuatu dari sesuatu yang tidak ada (creation ex nihilio) mustahil terjadi. Al ‘adam (ketiadaan) tidak mungkin berubah menjadi al wujud (ada). Yang mungkin terjadi adalah “al wujud” berubah menjadi “al wujud” dalam bentuk yang lain.

Menurut Ibn Rusyd, pendapat Imam Al Ghazali tentang “penciptaan sesuatu dari ketiadaan” tidak didukung oleh dalil syari’at yang memadai. Tidak ada dalil al Qur’an yang menjelaskan bahwa Allah pada mulanya berwujud sendiri, dengan kata lain tidak ada wujud selain diri-Nya, baru kemudian alam diciptakan. Pendapat ini – kata Ibn Rusyd – hanyalah pendapat dan hasil interpretasi kelompok teolog.

Ada beberapa dalil ayat al Qur’an yang dipakai oleh Ibn Rusyd untuk mendukung pendapatnya di atas, antara lain:

وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di anatar kamu yang lebih baik amalnya (QS. Hud: 7)

Ayat ini menurut Ibn Rusyd menjelaskan bahwa masa, tahta dan wujud air telah ada sebelum diciptakannya langit dan bumi oleh Allah SWT.

Ayat berikutnya adalah firman Allah SWT:

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ

Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap (QS. Fushshilat: 11)

أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّـمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَـقْنَاهُمَا وَجَعَـلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ " (الأنبياء: 30(

Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tidak beriman? (QS. Al Anbiya’: 30)

Ayat-ayat ini mengisyaratkan bahwa penciptaan langit dan bumi adalah dari sesuatu yang telah ada (air atau uap), bukan dari sesuatu yang tidak ada.

2. Masalah Pengetahuan Allah
Pernyataan bahwa Allah tidak mengetahui rincian sesuatu dan peristiwa di alam ini telah mendapat kritik keras dari Imam Al Ghazali. Ia menganggap pernyataan ini dapat membawa kepada kekufuran.

Kritik ini ditanggapi oleh Ibn Rusyd dengan mengatakan bahwa Imam Al Ghazali dalam hal ini sebenarnya salah paham. Menurutnya tidak ada filosof yang pernah mengatakan pernyataan tersebut. Yang ada adalah pendapat mereka bahwa pengetahuan Allah tentang rincian peristiwa-peristiwa di alam ini berbeda dengan pengetahuan menusia. Jadi, munculnya pertentangan Imam Al Ghazali dan filosof adalah karena penyamaan pengetahuan Allah SWT dengan pengetahuan manusia. Manusia mengetahui rincian sesuatu dan peristiwa melalui bantuan panca indera, dengan panca indera ini juga pengetahuan manusia berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaannya.

Selanjutnya Ibn Rusyd menjelaskan bahwa Allah juga mengetahui rincian semua kejadian semenjak jaman azali, sekecil apa pun. Pengetahuan-Nya tidak terbatas oleh masa lalu, sekarang atau pun yang akan datang.

3. Masalah Kebangkitan Jasmani
Imam Al Ghazali di dalam bukunya Tahafut al Falasifah telah menggugat dan mengkafirkan para filosof yang mengingkari kebangkitan jasad manusia. Menurutnya, ini bertentangan dengan aqidah ummat Islam. Ayat-ayat Al Qur’an juga dengan tegas menyatakan bahwa manusia akan merasakan kenikmatan jasmani di surga, atau kesengsaraan jasmani di neraka.

Menanggapi vonis Imam Al Ghazali ini, Ibn Rusyd mengatakan bahwa tidak semua filosof mengingkari kebangkitan. Hanya saja mereka yang meyakini adanya kebangkitan terbagi dua; ada yang mengatakan kebangkitan hanya dalam bentuk rohani, yang lainnya mengatakan rohani dan jasmani.

Ibn Rusyd sendiri lebih condong pada pendapat pertama. Sebab jasad manusia yang ada di dunia telah hancur lebur, dan tidak mungkin dapat dikembalikan lagi seperti semula. Namun ia juga tidak menafikan adanya kemungkinan jasad dan rohani dibangkitkan secara bersamaan. Jika pun itu terjadi, jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia, melainkan jasad yang baru.

Di sisi lain, Ibn Rusyd menilai adanya pertentangan pendapat Imam Al Ghazali dalam masalah kebangkitan. Di dalam Tahafut al Falasifah ia mengatakan bahwa kebangkitan terjadi dalam bentuk jasad dan ruh secara bersamaan. Tetapi pada kesempatan lain di buku yang berbeda ia mengatakan bahwa kebangkitan bagi kaum sufi hanya terjadi dalam bentuk rohani saja, tanpa jasmani. Sejarah menunjukkan bahwa Imam Al Ghazali di penghujung hayatnya sebagai seorang sufi. Dengan demikian ia dinilai telah membatalkan gugatannya terhadap para filosof.

Referensi:
- Al Ghazali, Tahafut al Falasifah, editor Sulyman Dunya, Cairo: Dar al Maarif, tanpa tahun.
- Ibn Rusyd, Tahafut al Tahafut, editor Sulyman Dunya, Cairo: Dar al Maarif, 1964.
- Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013
Selengkapnya...

Kritik Al Ghazali Terhadap Filosof; Tiga Permasalahan yang Membuat Kafir

Imam Al Gazali di dalam bukunya Tahafut al Falasifah memberikan kritik yang sangat keras terhadap dua filosof muslim; Al Farabi dan Ibn Sina, demikian juga terhadap Aristoteles secara tidak langsung. Menurut Imam Al Gazali, mereka ini kurang teliti dalam masalah logika, sehingga mereka keliru dalam banyak persoalan. Kekeliruan tersebut ada sebanyak 20 persoalan. Dalam 17 persoalan mereka dianggap sebagai ahlu al bid’ah, sementara dalam 3 soal lainnya mereka dinilai kafir. Tiga persoalan tersebut adalah anggapan bahwa:

1. Alam bersifat qadim
2. Tuhan tidak mengetahui rincian sesuatu dan peristiwa
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.

Disini saya hanya akan membahas tiga poin yang di atas saja. Sebab tiga persoalan inilah yang paling serius dan yang menjadi inti pertentangan antara Al Ghazali dan Ibn Rusyd. Berikut pemaparan tiga persoalan tersebut:

1. Pendapat Filosof Tentang Qadim-nya Alam Ini
Menurut mereka alam ini selalu ada sejak dulu, tidak berpermulaan atau dengan kata lain tidak pernah tidak ada (qadim). Mereka menganalogikan keberadaan alam di samping keberadaan Tuhan di zaman azali dengan matahari dan sinarnya.

Sementara menurut Al Ghazali pendapat ini bertentangan dengan Islam. Sebab dalam teologi Islam Allah adalah Pencipta. Pencipta maksudnya adalah menjadikan sesuatu dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilio). Jika alam ini dikatakan qadim, berarti alam tidak diciptakan. Sedangkan menurut al Qur’an Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu.

2. Tentang Pengetahuan Tuhan
Kelompok filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa secara lebih rinci (juz'iyat), melainkan hanya secara universal (kulliyat). Menurut mereka pengetahuan terhadap hal-hal yang juz’iyat menuntut adanya perubahan pada ilmu Tuhan. Sebab hal-hal yang bersifat juz'iyat selalu mengalami perubahan. Sementara ilmu-Nya yang juga merupakan zat-Nya bersifat qadim, tidak mungkin berubah dengan perubahan yang tejadi pada objek di luar Tuhan.

Sedangkan menurut Al Ghazali, ilmu Allah adalah suatu pertalian dengan Zat Tuhan. Kalau terjadi perubahan pada pertalian tersebut, Zat Tuhan tetap tidak berubah. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara sifat qadim Allah dengan pengetahuan-Nya terhadap hal-hal yang partikular.

Selain itu Al Ghazali juga melandaskan pendapatnya dengan dalil al Qur’an:

قل أتعلمون الله بدينكم والله يعلم ما فى السماوات وما فى الأرض والله بكل شيئ عليم

Katakanlah: apakah kalian ingin memberitahu Allah tentang agama kalian? Padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Hujrat: 16).

3. Tentang Kebangkitan Jasmani
Di dalam Tahafut al Falasifah, al Ghazali mengemukakan keingkaran para filosof terhadap kebangkitan jasad, pengembalian ruh ke jasad, kenikmatan dan kesengsaraan jasmani di akhirat. Menurut mereka janji surga dan ancaman neraka hanyalah perumpamaan untuk mendekatkan pemahaman orang awam tentang balasan kebaikan dan keburukan.

Pendapat ini menurut Al Ghazali bertentangan dengan keyakinan ummat Islam dan juga dalil al Qur’an . Di dalam al Qur’an disebutkan:

قال من يحي العظام وهي رميم. قل يحييها الذى أنشأها أول مرة

Ia berkata:”Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh” Katakanlah: Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali. (QS. Yasin: 78-79).

Referensi:
- Al Ghazali, Tahafut al Falasifah, editor Sulyman Dunya, Cairo: Dar al Maarif, tanpa tahun.
- Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.

Baca Juga:
- Profil Singkat Imam Al Ghazali; dari Lahir Hingga Wafat
Selengkapnya...

Profil Singkat Imam Al Ghazali; dari Lahir Hingga Wafat

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al Thusi: Abu Hamid al Ghazali. Gelarnya adalah Hujjah al Islam. Ia lahir pada tahun 1058 M (450 H) di Thus, kota Khurasan, Iran.

Antara tahun 465-470 H, Al Ghazali mempelajari ilmu fiqih dan ilmu-ilmu dasar lainnya di tanah kelahirannya, Thus. Lalu melanjutkan pendidikannya di Jurjan. Kemudian kembali ke Thus belajar ilmu tasawwuf, selama 3 tahun. Pada tahun 473 H, ia pergi ke Naisabur untuk belajar ilmu kalam dan mantiq kepada al Juwaini (w. 478) dan beberapa guru lainnya di sekolah al Nizhamiyah. Al Ghazali juga sempat belajar tasawuf di Naisabur kepada Abu Ali al Fadhl ibn Muhammad ibn Ali al Farmadzi (w. 477).

Pada tahun 484 H (1091) Al Ghazali diangkat menjadi guru besar madrasah al Nizhamiyah di Bagdad. Selama mengajar di sekolah ini ia mempelajari filsafat secara otodidak. Namun pada tahun 488 H, ia dilanda keraguan terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya hingga ia menderita penyakit parah yang susah diobati selama dua bulan. Akibatnya, tugasnya sebagai guru di sekolah madrasah al Nizhamiyah tidak dapat dijankan, sehingga ia pun memutuskan untuk berhenti mengajar.

Setelah kondisi kesehatannya membaik, Al Ghazali pindah ke Damaskus untuk beruzlah, fokus beribadah ala sufi. Dua tahun kemudian ia pindah lagi ke Baitul Maqdis, Palestina untuk beribadah. Di Baitul Maqdis inilah dia menysun kitabnya yang fenomenal, “Ihya’ ‘Ulumiddin”.

Dari Baitul Maqdis, Al Ghazali melanjutkan perjalanan spritualnya ke tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, ia pulang ke tanah kelahirannya, Thus, dan melanjutkan uzlahnya. Namun tidak lama kemudian, Al Ghazali diminta agar kembali mengajar di sekolah al Nizhamiyah cabang Naisabur. Ia memenuhinya, tapi hanya berjalan selama dua tahun.

Imam Al Ghazali meninggal di Thus pada tahun 505 H (1111 M), setelah sebelumnya sempat mendirikan sekolah dan majelis sufi di kota kelahirannya tersebut.

Referensi:
- Al Ghazali, Ihya Ulum al Din, Kairo: Mathba’ah Namudzajia, tanpa tahun.
- Al Ghazali, Tahafut al Falasifah, editor Sulyman Dunya, Cairo: Dar al Maarif, tanpa tahun.
- Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013.

Baca Juga:
- Kritik Al Ghazali Terhadap Filosof; Tiga Pendapat yang Bisa Membuat Kafir
Selengkapnya...