Veteran Palas Yang Hidup Terlunta-Lunta

Pemuda itu segera turun melewati pintu utama rumah. Dia mempercepat langkahnya menyambut seorang kakek tua renta yang sedang berjalan ke arah kamar mandi umum di dekat mesjid. Datuk, begitu masyarakat memanggil kakek itu.

Senyumnya meluapkan rasa senangnya karena tak menyangka masih bisa melihat raut wajah sosok mantan pejuang kemerdekaan itu. Maklum, empat tahun dia meninggalkan kampung ini.

”Apa kabar kek? Masih ingat saya kan?”

Kakek tua itu mengangkat kepala dan berusaha melebarkan matanya yang sudah sipit akibat penuaan.

”Ooo, kapan datang dek?” tanyanya dengan suara yang serak sambil berpegangan pada dinding gubuk bambu di sebelah kirinya. sementara tangan kanannya memegang tongkat kayu yang sudah kering.

”Baru tadi malam kek,” dia mangambil dan menuntun tangan kanan kakek itu.

”Sudah selesai kulliahnya?”

”Alhamdulillah, sudah”

Tiba-tiba mereka berdua diam. Melihat jalan kakek yang tertaih-tatih itu, kondisi ekonominya yang lemah dan masa tuanya yang 'terlunta-lunta tanpa uang pensiun', hatinya pun mulai bertanya-tanya: Bukankah kakek ini adalah seorang mantan pejuang kemerdekaan yang seharusnya dapat perhatian khusus dari pemerintah? Pada setiap upacara kemerdeekaan RI selalu keliahatan orang-orang berseragam veteran dengan begitu gagahnya, mereka terhormat, tunjangan masa tua mereka peroleh dari pemerintah. Tapi kenapa saya tidak pernah melihat kakek ini di setiap upacara kemerdekaan? Apa karena dia belum memenuhi syarat untuk dinobatkan sebagai seorang pejuang yang mendapatkan hak yang sama dengan veteran-veteran lainnya?

Rasa penasaran memenuhi ruang hati pemuda itu. Spontan saja dia mengalihkan pembicaraan pada pengalaman masa-masa perjuangan kemerdekaan yang dilewati oleh kakek tua itu.

”Dulu, saya pernah meledakkan markas Belanda di Padang Sedempuan,” dia mengawali ceritanya dengan penuh semangat. ”Saya melemparkan sebuah granet Inggris ke dalam markas merreka, lalu kabur. Saya dengar teriakan dan ledakan dahsyat. Mereka pasti mati, tapi tidak tahu berapa orang.”

”Umur kakek waktu itu berapa?”

”14 tahun. Ya, umur pelajarlah. Jadi waktu itu saya biasanya berpakaian sekolah, celana pendek. Tentara-tentara Belanda mengira saya seorang pelajar, nyatanya seorang pejuang. Mereka tidak sadar bahwa saya sedang memata-matai gerak-gerik dan kekuatan mereka.”

”Kakek hebat! Jasanya patut dihargai. Tapi ada nggak semacam penghargaan dari pemerintah untuk kakek? Gaji pensiunan misalkan”

”Ah, untuk ngurusnya susah! Rp. 30 juta baru dikasih!”

”??????”

”Dapat darimana saya uang sebanyak itu?!”

***

Veteran Datuk, nama aslinya adalah Azhum. Dia sekarang tinggal di Sububulussalam, Kab. Padang Lawas (Palas). Keikutsertaannya memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI sudah sepatutnya mendapat penghargaan yang layak. Adakah yang peduli?

1 komentar:

Posting Komentar

Komen2nya yg damai2 aja ya Sist & Bro! Thanks.