Isu Legalitas Perang Terhadap Non-Muslim

Image: defense-arab.com

عن سَعِيدٍ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ رواه مسلم

Hadits tersebut tak jarang disalahpahami dan bahkan dimanfaatkan orang-orang tertentu untuk menebar isu dan mengilustrasikan bahwa Islam adalah agama barbar; kejam dan seram.

Hadits tersebut sering saya temukan diterjemahkan dengan narasi seperti berikut:
Dari Sa'id bin Musayyab, Abu Hurairah memberitahukannnya bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (tiada tuhan selain Allah). Maka siapa yang mengucapkannya berarti dia telah menjaga harta dan jiwanya dari saya kecuali karena haknya, sementara urusannya diserahkan kepada Allah." (HR. Muslim)

Pemahaman sederhana terhadap terjemahan hadits tersebut barangkali akan menghadirkan sebuah konklusi juga bagi Anda bahwa Islam melegalkan pemaksaan agama dan pembunuhan terhadap non-muslim. Namun konklusi itu akan bertolak belakang jika kita memahami akar permasalahannya secara rinci.

Biar lebih jelas maksud hadits tersebut, mari kita telusuri beberapa hal berikut:
a. Imam Al-Khattaby mengomentari hadits tersebut sebagaimana yang diabadikan oleh Imam Nawawi dalam bukunya "Syarah Shahih Muslim": "Seperti dimaklumi bahwa (manusia) yang dimaksud disini adalah para penyembah berhala. Mereka mengucapkan "laa ilaaha illallaah", tapi kemudian mereka memerangi (orang-orang muslim)."

b. Komentar Syekh Tontowy dalam majalah Al-Azhar di Mesir Edisi Dzul Qa'dah 1427 H, menjelaskan lebih rinci: "Yang dimaksud dengan 'manusia' pada hadits tersebut – sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama pakar Islam – adalah orang-orang yang memerangi dakwah Islam dengan berbagai cara dan memproklamirkan permusuhannya kepada kaum muslimin, sementara dalam hati mereka juga tersimpan (rencana) yang lebih besar.

Merekalah yang dimaksud oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya: "Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (tiada tuhan selain Allah)"

Mereka juga yang kita diperintahkan oleh Allah untuk menolak permusuhan dan kezhaliman mereka, sebagai bentuk pembelaan terhadap kehormatan kita.

Adapun orang-orang selain mereka yang juga berbeda agama dengan kita dan tidak hidup bersama kita, tetapi tidak melakukan kejahatan kepada kita, Al-Qur'an telah bicara tentang mereka:
"…Maka selama mereka berlaku jujur terhadapmu, hendaklah kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka…" (QS. At-Taubah: 7).

Sementara orang-orang selain mereka yang juga berbeda agama dengan kita, tetapi mereka hidup bersama kita dalam sebuah komunitas bangsa yang memiliki maslahat bersama, maka antara kita dan mereka berlaku kaidah "Senasib sepenanggungan".

c. Sudut pandang kaidah bahasa
1. Dari segi kaedah bahasa, kata kerja أُقَاتِلَ sebenarnya tidak cukup diartikan dengan 'memerangi'. Sebab kata kerja yang se-wazan (timbangan) dengannya mempunyai makna keterlibatan antara dua belah pihak. Jadi arti yang lebih tepat adalah 'saling' memerangi.

Sebagaimana petunjuk Al-Qur'an dan Hadits, prinsip perang dalam Islam adalah tidak memerangi orang-orang yang tidak memerangi mereka. Dengan kata lain Islam tidak memulai peperangan.

Firman Allah:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
"Dan perangilah di jalan Allah orang-oran yang memerangi kalian, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Baqarah: 190)

2. Agar orang yang diperangi mengucapkan لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (tiada tuhan selain Allah) bukanlah tujuan dari perang. Sebab ini bertentangan dengan Islam. Perang dalam Islam bertujuan sebagai pembelaan diri dan menolak kezhaliman, sebagaimana yang disebutkan di atas.

Namun, jika di saat perang mereka (yang diperangi) mengucapkan kalimat لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ (tiada tuhan selain Allah), maka saat itu juga darah mereka haram ditumpahkan, kecuali jika mereka melakukan pelanggaran undang-undang syari'at yang menuntut hukuman mati, seperti membunuh orang lain dengan sengaja.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam tidak melegalkan perang terhadap non-muslim kecuali di saat mereka diserang atau dizhalimi sebagai upaya pembelaan diri.
Wallahu a'lam....
Selengkapnya...

Benarkah Islam Memaksa Orang Lain Masuk Agama Islam?

"Islam disebarkan dengan pedang," ungkapan yang lahir dari negeri orientalis itu seakan mengilustrasikan bahwa Islam disebarkan dengan pemaksaan dan kekerasan. Benarkah demikian? Dalam menyikapi masalah ini telah terjadi pro dan kontra, baik di Barat maupun di Timur. Terlepas dari semua itu, rasanya sangat perlu kita tahu bagaimana sebenarnya prinsip dan sikap Islam terhadap "pemaksaan dalam memeluk sebuah agama, khususnya agama Islam."

Ketika berbicara soal prinsip dan sikap sebuah agama tentang suatu masalah, maka hal yang perlu diperhatikan adalah sumber ajaran agama tersebut dalam kaitannya dengan masalah tadi, bukan perilaku pemeluknya. Untuk itu, prinsip dan sikap tersebut akan saya coba kemukakan dengan dalil-dalil yang berkaitan, sebagaimana berikut:

1. Para Rasul adalah pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan
Firman Allah SWT:
"Dan Kami (Allah) tidak mengutus para rasul kecuali untuk memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa beriman dan mengadakan perbaikan, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati." (QS. Al-An'am: 48)

"Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana." (QS. An-Nisa': 165).

Kabar gembira disini adalah berupa ganjaran kebaikan dan kesenangan di surga bagi mereka yang beriman dan taat kepada ajaran yang dibawa oleh rasul tersebut. Dan peringatan disini adalah ancaman akan adanya azab sebagai konsekuensi bagi mereka yang ingkar kepada Tuhan.

Nabi Muhammad Saw sebagai bagian dari para rasul tentu mempunyai tugas yang sama dengan mereka. Firman Allah SWT:

"Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Dan engkau tidak diminta pertanggungjawaban tentang penghuni-penghuni neraka." (QS. Al-Baqarah: 119).

2. Tidak ada paksaan dalam memeluk sebuah agama
Dalam menyampaikan kabar gembira dan peringatan, para rasul yang diutus oleh Allah tidak punya wewenang untuk memaksa manusia dalam mengikuti ajaran yang dibawanya. Jika mereka beriman dan taat, maka mereka selamat sejahtera. Namun jika mereka ingkar, maka urusannya kembali kepada Allah. Firman Allah SWT kepada nabi Muhammad saw:

"Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, dan engkau (Muhammad) bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka berilah peringatan dengan Al-Qur'an kepada siapa pun yang takut kepada ancaman-Ku." (QS. Qaf: 45).

Ayat 256, QS. Al-Baqarah juga menjelaskan dengan lugas: "Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (Islam). Sungguh telah jelas antara petunjuk dan kesesatan. Barangsiapa yang mengingkari thagut (setan dan sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang teguh kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui."

Para ahli tafsir menyebutkan: sebab turunnya ayat 256 di atas adalah bahwa seorang pria penduduk Madinah masuk Islam, dia memiliki dua orang anak yang tidak beragama Islam. Lalu dia datang menemui Nabi Muhammad Saw dan berkata: "Wahai Rasulullah, apakah saya membiarkan anak saya masuk neraka sementara saya nanti (hanya) melihatnya? Wahai Rasulullah, saya ingin memaksa mereka untuk masuk Islam." Lalu turunlah ayat tersebut.

Inilah yang menjadi latar belakang tidak adanya sejarah pemaksaan masuk agama Islam sepanjang hayat Nabi Muhammad Saw., justru beliau dan para pengikutnyalah yang dipaksa oleh kaum musyrik Mekkah untuk keluar dari agama Islam dan memeluk agama mereka.

3. Iman, Ketaatan dan ibadah harus dari hati yang tulus
Firman Allah SWT:

"Dan mereka hanya diperintah untuk menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan agama), dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah: 5)

Sementara pemaksaan terhadap keyakinan jelas-jelas menafikan keikhlasan dan menyuburkan kemunafikan. Dan iman dan ibadah yang dibalut kemunafikan ditolak oleh Allah SWT. Firman-Nya:

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tempat yang paling bawah dari neraka…." (QS. An-Nisa': 145).

Jadi, percuma saja bagi mereka memeluk Islam secara zhahir tetapi kufur di dalam hati.

Dari sini jelaslah bahwa pemaksaan untuk memeluk sebuah agama – sekalipun agama Islam – bertolak belakang dengan ajaran Islam. Dan jika ada orang yang melakukannya atas nama ajaran Islam, maka alasan-alasannya itu perlu diselidiki dan dikaji ulang kembali.
Wallahu a'lam…
Selengkapnya...

Apakah Islam Mengajarkan untuk Mendiskriminasi Agama Lain?

Sebahagian orang non-muslim beranggapan bahwa ajaran Islam dalam kehidupan sosial bersifat diskriminatif terhadap orang-orang non-muslim. Munculnya anggapan ini kadang tidak terlepas dari tindakan ekstrim yang dilakukan oleh beberapa oknum muslim di beberapa tempat. Untuk menilai ajaran Islam bersifat diskriminatif atau tidak, tentu tidak cukup dengan hanya melihat prilaku ummatnya, namun harus dengan menelaah ajarannya. Jika ternyata antara prilaku dan ajaran ada kontradiksi, berarti yang salah bukanlah ajarannya, melainkan orangnya.

Kalau kita kembali kepada sejarah Rasulullah Muhammad Saw, bisa dikatakan tidak ditemukan tindak diskriminatif atas nama ajaran agama Islam terhadap pemeluk agama lain। Justru riwayat-riwayat shahih menunjukkan bahwa ummat Yahudi dan Nasrani dihormati di dalam masyarakat madani yang dibina oleh Nabi Muhammad Saw.; mereka diberikan kebebasan beribadah sesuai ajarannya dan menikmati hidup layaknya masyarakat muslim lainnya. Bahkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Sayyidah Aisyah tentang penggadaian baju perang Nabi Muhammad Saw kepada seorang Yahudi Madinah di akhir hidup hingga wafatnya menjadi salah satu bukti kuat bahwa beliau juga melakukan interaksi yang baik dengan mereka. Ini merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari firman Allah SWT:

"Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam masalah agama dan juga tidak mengeluarkan kalian dari tanah air kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil" (Al-Mumtahanah: 28).

Hadits dan ayat di atas jelas sekali menunjukkan bahwa anggapan ajaran Islam itu bersifat diskriminatif terhadap pemeluk agama lain adalah keliru. Kekeliruan ini tentu saja akan semakin kontras bila kita melihat dengan seksama hak-hak yang diberikan oleh Islam terhadap orang-orang non-muslim di tengah-tengah komunitas ummat Islam. Karena itu, disini saya akan mencoba menguraikannya beserta dalil yang berkaitan, di antaranya:

1. Mereka tidak dipaksa untuk memeluk agama Islam
Firman Allah SWT:

لاَ إِكْراهَ فىِ الدِّيْن قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَىِّ. سورة البقرة, آية 256

"Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama Islam, sungguh telah jelas antara petunjuk dan kesesatan" (QS. Al-Baqarah: 256).
Imam Ibnu Jarir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan seorang sahabat yang bernama Hushain, yang mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani (Kristen). Dia bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: "Apakah saya harus memaksa mereka (masuk Islam)? Mereka hanya mengiginkan agama Nasrani." Lalu turunlah ayat tersebut.

Karena itu, kalau kita melihat lembaran sejarah perkembangan Islam di masa Nabi Muhammad Saw dan khulafaurrasyidin sesudahnya, kita tidak akan menemukan adanya bukti pemaksaan seseorang untuk memeluk agama Islam. Seandainya itu ada, tentu saja riwayat penggadaian baju perang nabi Muhammad Saw di akhir hayatnya tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan nyata, sebagaimana tidak akan ada juga kisah seorang Yahudi buta yang setiap hari diberi makan dan disuapi oleh Nabi Muhammad di pojok pasar Madinah hingga menjelang hari wafatnya.

Barangkali terdetik sebuah pertanyaan, "lalu mengapa ada ayat perintah perang?" Pemahaman yang baik dan benar terhadap Al-Qur'an menjelaskan bahwa ummat Islam tidak diperintahkan berperang kecuali terhadap kelompok yang memeranginya, dan kenyataannya dalam sejarah nabi Muhammad Saw. memang demikian.

2. Kebebasan menjalankan agama mereka

صالح رسول الله صلى الله عليه وسلم أهل نجران... على أن لا تهدم لهم بيعة ولا يخرج لهم قس ولا يفتنوا عن دينهم. رواه أبو داود

"Rasulullah Saw. melakukan perdamaian dengan penduduk Najran… rumah ibadah mereka tidak boleh dihancurkan, pemimpin agama mereka tidak diusir dan tidak dibujuk untuk meninggalkan agamanya." (HR. Abu Daud).

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, seorang ulama madzhab Hanbali menyebutkan: "Para ulama mengatakan bahwa Apabila seorang isteri yang non-muslimah ingin memasukkan tanda salib ke rumahnya, maka suaminya tidak boleh melarangnya…." (lihat kitab Ahkamudzdzimmah karangan Ibnul Qayyim).

3. Berbaur dan berinteraksi sosial dengan masyarakat muslim
Termasuk di dalamnya dalam hal sedekah, jual beli, tempat tinggal, mengunjungi yang sakit, menghadiri jenazah dan sebagainya.

Anas ra. berkata: "Ada seorang anak muda Yahudi yang menjadi pembantu Nabi Muhammad Saw. Lalu (suatu saat) dia sakit. Nabi Muhammad Saw. pun menjenguknya dan duduk di samping kepalanya. Beliau bersabda: 'Islamlah'. Anak muda itu menoleh ke ayahnya, si ayah berkata: 'Turutilah Abul Qasim (Nabi Muhammad Saw).' Dia pun masuk Islam. Lalu beliau keluar sambil berucap: 'Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari api neraka'" (HR. Bukhari).

4. Jiwa, harta dan harga diri mereka dihormati

من قتل معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها توجد من مسيرة أربعين عاما. صحيح البخارى.

"Barang siapa yang membunuh seorang mu'ahid (orang non-muslim yang mempunyai perjanjian damai dengan Islam), dia tidak mencium bau surga. Dan sesungguhnya baunya bisa tercium dari jarak 40 tahun perjalanan" (HR. Bukhari).

Abul A'la Al-Maududi mengatakan: "Ahludzdzimmah (non-muslim yang berada di bawah pemerintahan Islam) tetap memiliki tanah mereka dan diwariskan kepada pewarisnya. Adalah hak mereka untuk mengelolanya; menjual, memberikan dan menggadaikannya…" (Huquq Ahli adz-Dzimmah fi ad-Daulah al-Islamiyah).

Imam Malik pernah ditanya tentang menggibah (menyebut-nyebut aib) orang Nasrani. Beliau balik bertanya: Bukankah dia juga manusia? Jawab penanya: Ya. Beliau berkata: Sesungguhnya Allah berfirman: "…dan katakanlah kepada manusia yang baik-baik."

5. Menikmati fasilitas-fasilitas umum dan pemerintahan
Ini bisa dikiyaskan pada hak yang diberikan oleh Baitul Mal (gudang pemerintah) kepada mereka.

Disebutkan di dalam riwayat Abu Sufyan bahwa suatu saat khalifah Umar bin Khattab bertemu dengan seorang pengemis tua Yahudi. Setelah memberinya sesuatu, dia berkata kepada petugas Baitul Mal: Lihat orang ini dan pajak yang dia berikan. Demi Allah, kita sudah tidak adil kepadanya; kita memanfaatkan masa mudanya tetapi kita menelantarkannya di masa tua."

Pada masa Khalid bin Walid, orang-orang dhuafa' non muslim juga ditanggung oleh Baitul Mal Islam.

6. Dialog keagamaan dengan mereka harus dengan cara yang baik

ولا تُجادِلُوا أهلَ الْكِتابِ إلاّ بِالـَّتِى هِىَ أَحْسن إلاّ الذين ظَلمُوا مِنهم وقولوا آمنا بالذى أُنزلَ إلينا وأنزل إليكم وإلهنا وإلهكم واحد ونحن له مسلمون. العنكبوت, آية 46.

"Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang paling baik, kecuali orang-orang yang aniaya di antara mereka. Dan katakanlah: kami beriman kepada yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kalian, Tuhan kami dan Tuhan kalian hanyalah satu, dan kami berserah diri kepada-Nya." (QS. Al-'Ankabut: 46).

7. Orang yang tidak memerangi Islam di antara mereka tidak boleh diperangi.
Firman Allah SWT:

"Dan perangilah di jalan Allah orang-oran yang memerangi kalian dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS. Al-Baqarah: 190).

Sekilas ayat ini memang perintah perang, tetapi jangan lupa bahwa perang disini hanya kepada orang-orang yang memerangi Islam. Adapun mereka yang tidak memerangi, Islam jelas-jelas melarang memerangi mereka.

Inilah di antara nasehat yang sering Rasulullah sampaikan kepada pasukannya: jangan membunuh orang-orang lemah, anak-anak, wanita, orang tua dan kaum lemah lainnya. Buku-buku Fiqih Islam sebagai penafsir Al-Qur'an dan Hadist juga menyebutkan tidak bolehnya membunuh orang-orang yang menjauhi medan perang dan tidak terlibat di dalamnya.

8. Dan lain sebagainya.

Dari uraian singkat tersebut, jelas sekali bahwa Islam adalah agama yang cinta damai. Hanya saja kadang kita temui di antara ummatnya orang-orang yang tidak paham betul tentang ajaran Islam. Semoga tulisan ini bermanfaat.
Wallahu a'lam…
Selengkapnya...

Heraclius Buka Mulut Soal Nabi Muhammad Saw

Kaisar Heraclius mencium kabar seorang pria tanah Hijaz yang mengaku sebagai Rasul utusan Tuhan semesta alam. Kabar tersebut menyimpan rasa penasaran di dalam hatinya. Dia mengirim utusan untuk mengundang sekelompok kafilah Arab yang sedang berdagang di Syam, daerah kekuasaannya. Kebetulan saja kafilah tersebut adalah penentang keras ajaran Rasul ini, yang salah satunya adalah Abu Sufyan bin Harb.

Sang Kaisar mempersilahkan mereka masuk ke dalam sebuah majelis yang dihadiri oleh pembesar-pembesar Romawi. Seorang penerjemah siap menghubungkan komunikasi mereka.

"Siapa di antara kalian yang nasabnya paling dekat dengan pria yang mengaku nabi itu?" tanya Heraclius.
"Saya yang nasabnya paling dekat," jawab Abu Sufyan.
Heraclius menyuruhnya beserta kafilah lain untuk mendekat dan menjadikanya di posisi paling depan.
"Saya akan bertanya tentang nabi tersebut kepada orang ini, kalau dia berbohong, kalian harus mengatakannya," kata Heraclius kepada kafilah tersebut.
Heraclius pun memulai pertanyaannya, "Bagaimana nasab pria tersebut di antara kalian?"
"Dia orang yang punya nasab," jawab Abu Sufyan.
"Apakah di antara kalian ada orang yang berkata seperti ini sebelumnya?"
"Tidak"
"Apakah di antara kakeknya ada yang menjadi raja?"
"Tidak"
"Para pengikutnya dari kalangan bangsawan atau kaum lemah?"
"Justru kaum lemah"
"Apakah mereka bertambah atau berkurang?"
"Bahkan mereka bertambah."
"Ada yang murtad karena rasa benci setelah memeluk agamanya?"
"Tidak"
"Pernahkah kalian menuduhnya berbohong sebelum dia mengaku nabi?"
"Tidak"
"Dia pernah melanggar janji?"
"Tidak. Dan kami sedang dalam perjanjian dengannya. Kami tidak tahu apa yang akan dia lakukan"
"Apakah kalian memeranginya?"
"Ya"
"Bagaimana perang kalian?"
"Berimbang. Dia (mampu) memukul mundur kami, dan kami juga"
"Dia menyuruh apa pada kalian?"
"Menyembahlah hanya kepada Allah, jangan berbuat syirik pada-Nya sedikit pun, tinggalkan apa yang dikatakan oleh para orangtua kalian. Dia juga menyuruh kami untuk shalat, berzakat, jujur, menghindari yang tidak baik dan menjaga hubungan kerabat."

Semua pertanyaan telah disampaikan dan dijawab. Namun Kaisar Heraclius tidak membiarkan tamu-tamunya pergi dengan membawa rasa penasaran. Dia pun menjelaskan maksud semua pertanyaannya satu persatu.

"Tadi saya bertanya tentang nasabnya. Lalu engkau menyebutkan bahwa dia memiliki nasab. Begitu juga halnya para Rasul, mereka diutus di tengah nasab kaumnya.
Saya bertanya: Apakah di antara kalian ada orang yang berkata seperti ini? Kau jawab: tidak ada. Andaikan ada, saya akan mengatakan: Dia seorang pria yang meniru ucapan orang sebelumnya.

Kau menjelaskan juga dia bukan dari keturunan raja. Andaikata ya, saya akan mengatakan: dia ingin mengembalikan kerajaan ayahnya.
Pertanyaan saya: Pernahkah kalian menuduhnya berbohong sebelum dia mengaku nabi? Jawabanmu: tidak. Saya tahu (kata Heraclius), kalau dia berbohong kepada manusia dia akan berbohong kepada Allah.

Saya bertanya tentang para pengikutnya, apakah dari kalangan bangsawan atau kaum lemah? Kau mengatakan dari kaum lemah. Memang, mereka adalah pengikut para Rasul.
Engkau katakan mereka bertambah. Bagitulah masalah iman hingga sempurna.
Engkau menyebutkan mereka tidak ada yang murtad. Begitulah iman di saat cahayanya menyentuh hati.

Saya bertanya: apakah dia pernah melanggar janji? Engkau jawab tidak. Rasul memang tidak melanggar janji.

Saya juga menanyakan apa yang dia suruh. Engkau menjelaskan dia menyuruh agar kalian hanya menyembah kepada Allah, jangan berbuat syirik pada-Nya sedikit pun, dia melarang kalian menyembah berhala, Dia juga menyuruh kalian untuk shalat, jujur, dan menghindari yang tidak baik.

Kalau yang kau katakan ini benar, – kata Heraclius – maka dia akan menguasai tempat saya berpijak ini. Dan saya yakin, dia pasti akan keluar. Saya tidak mengira ternyata dia berasal dari kalian. Andai saya sampai padanya, saya akan sibuk menemuinya. Dan seandainya saya ada di sampingnya, saya akan mencuci telapak kakinya."

Usai menjelaskan semuanya, Heraclius lalu membacakan sebuah surat nabi Muhammad Saw:
"Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dari Muhammad hamba Allah dan rasul utusan-Nya, kepada Heraclius pembesar Romawi.
Damai sejahtera bagi yang mengikuti petunjuk. 'Amma ba'du': Saya mengajak Anda kepada panggilan Islam. Islamlah niscaya engkau akan selamat, Allah memberi ganjaran pahalamu dua kali lipat. Namun jika engkau berpaling, maka engkau akan menanggung dosa rakyat. [Wahai ahli kitab, marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kalian, bahwa kita tidak menyembah selain Allah, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan kita tidak menjadikan satu sama lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang muslim]."

*Kisah ini terdapat di kitab Shahih Bukhari, vol. 7.
Selengkapnya...

Puasa, Introspeksi Iman dan Bangsa Yang Makmur

Di dalam Al-Qur'an, Allah SWT mengajak manusia agar senantiasa melakukan dzikir (mengingat Allah), tadzkkur (introspeksi dan mengambil pelajaran) dan tadzkiir (mengingatkan). Dengan mengaktualisasikannya seorang mukmin akan menyadari terus hakekat-hakekat keimanan yang harus dijaga. Di antara ayat yang menjadi isyarat terhadap ajakan ini adalah firman Allah SWT;
1. Tentang zdikir:
(فاذكــُــــــرُونى أذكـــُركــُــــم (البــقرة: 152
Artinya:
"Ingatlah Aku, niscaya Aku akan mengingat kalian." (QS. Al-Baqarah: 152)2. Tentang Tadzakkur:
(إنمــــا يتـَــذكــَّـــرُ أولـــو الأباب (الرعد: 19
Artinya:
"Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran." (QS. Ar-Ra'd: 19)
3. Tentang Tadzkiir
(وذَكــِّـرْ فإن الذكرى تنغع المؤمنين (الذاريات: 55
Artinya:
"Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin." (QS. Azd-Dzariyat: 55)
Dalam memenuhi tiga petunjuk Rabbani di atas, ibadah puasa memiliki peran yang sangat penting.
Ibadah puasa sudah sejatinya dilakukan oleh seorang mukmin sesuai syarat, rukun dan adab-adabnya sehingga tujuan di balik pelaksanaannya bisa dicapai dan buah keimanan yang dikandungnya bisa dipetik. Memang tidak semua orang yang berpuasa bisa merealisasikan tujuan dan hasil yang diharapkan. Yang bisa untuk itu hanyalah orang-orang yang mengamalkan petunjuk Nabi Muhammad Saw.: "Puasa itu bukan (semata-mata) menahan diri dari makan dan minum, tapi puasa itu menahan diri dari perkataan yang sia-sia dan perbuatan maksiat."
Untuk itu, beliau Saw menasehati orang yang berpuasa: "Jika seseorang mencaci atau meremehkan engkau, maka katakana padanya: Saya sedang puasa, saya sedang puasa."
Cacian merupakan sebuah contoh konkrit yang kadang menguji kesabaran seseorang. Orang yang tidak sabar menghadapi cacian akan membalasnya dengan cacian yang sama atau bahkan yang melebihi. Dan ini tidak boleh. Mencaci atau membalas cacian masuk dalam kategori perbuatan tidak terpuji yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan pahala puasa.
Ucapan orang yang puasa "Saya sedang puasa, saya sedang puasa " merupakan bagian dari introspeksi iman (tadzkir imany). Ketika ucapan tersebut bersumber dari hati, berarti dia sedang melakukan ketaatan karena Allah SWT., mengingat-Nya dan menyadari bahwa dia sedang berada dalam pengawasan-Nya (dzikir).
Dari sini, introspeksi iman dan ingat kepada Allah SWT mengarahkan orang yang berpuasa kepada sebuah 'azam untuk tetap berbudi pekerti yang baik dan menjauhi setiap perilaku tercela (tadzakkur), sebagaimana yang diisyaratkan dalam sabda Nabi: "… puasa itu menahan diri dari perkataan yang sia-sia dan perbuatan maksiat."
Jika mencaci dan membalas cacian merupakan bagian dari perbuatan tidak terpuji, maka dalam menyikapi godaan dari semua perbuatan yang berlabel tidak terpuji lainnya – lebih-lebih maksiat dan larangan-larangan yang termaktub dalam Al-Qur'an dan sunnah – semestinya orang yang berpuasa kembali pada koridor iman dan melakukan introspeksi diri.
Dengan mengamalkan tiga ajakan Tuhan tadi, seorang pedagang yang punya peluang besar untuk melakukan kecurangan dengan cara berbohong atau mengurangi timbangan tentunya akan lebih mampu untuk mengendalikan diri. Setiap hawa nafsu mengajaknya melakukan peenipuan, hatinya mengingatkan bahwa dia sedang berpuasa dan Allah selalu mengawasi gerak-geriknya, akal pikirannya juga mempertimbangkan sebuah konsekuensi hilangnya pahala puasa dan keberkahan usaha. Di matanya, materi duniawi hanyalah perkara kecil jika dibandingkan dengan ganjaran besar yang akan diberikan Allah kepadanya nanti. Kesadaran yang disertai iman ini pun membimbing dia kepada sifat qana'ah; merasa puas dan cukup dengan rizki yang halal, dan menahan dia dari tindakan yang merugikan orang lain. Dia beruntung orang lain juga diuntungkan. Dengan demikian, usaha dagangnya ini telah mengandung nilai plus ibadah.
Lazimnya demikian juga setiap mukmin pada semua aktivitas, organisasi, perkantoran pemerintahan, dan lapangan usaha lainnya. Interaksi sosial yang bagaimana lagi yang paling efektif dalam memabangun sebuah bangsa selain interaksi simbotik yang berasakan keimanan dan ketakwaan!? Kalau saja setiap elemen bangsa mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari, insya Allah cita-cita "baldatun thayyibah wa Rabbun Ghafuur"; (Negara makmur dan diridoi Tuhan) akan bisa terwujudkan.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ.... (الأعراف: 96)
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…" (Al-A'raf: 96)
(Wallahu a'lam)
Selengkapnya...

Taushiyah Ramadhan ; Puasa Sebagai Tarbiyah Rabbaniyah

Kewajiban puasa di bulan Ramadhan merupakan salah satu bentuk tarbiyah (pendidikan) dari Allah SWT. bagi hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menjadi manusia yang bertaqwa sebagaimana yang disebutkan di dalam QS. Al-Baqarah ayat 183: "…agar kalian bertaqwa."

Diantara bentuk-bentuk tarbiyah pada bulan ini; pada saat berpuasa kesabaran, kejujuran keikhlasan dan kesungguhan manusia diuji dalam memenuhi perintah Allah SWT. Puasa menuntut kesabaran; sabar menahan emosi, lapar dan dan dahaga, menjaga diri dari segala perkataan dan perbuatan yang merusak puasanya. Tanpa itu seseorang tidak akan bisa melakukan puasa dari waktu fajar sampai matahari tenggelam di ufuk barat,

Puasa melatih kejujuran. Dalam berpuasa, hanya Allah SWT dan diri sendiri yang tahu persis apakah dia masih puasa atau tidak. Orang yang makan di tempat yang sunyi bisa saja mengaku puasa di depan orang lain, dan mereka tidak tahu yang sebenarnya, namun Allah SWT dan dirinya sendiri tidak bisa dibohongi. Allah SWT Mahamelihat dan Mahamengetahui. Karena itu, yang bisa melakukan puasa hanyalah orang-orang yang ikhlas, sungguh-sungguh karena Allah SWT dan merasakan kehadiran-Nya. Dan hanya orang-orang yang jauh dari sifat riya' jugalah yang melakukannya. Itulah sebabnya ganjaran puasa itu sangat besar. Dan inilah yang diisyaratkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

"Dia (hamba) meninggalkan makanan, minuman dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya. Dan kebaikan itu sepuluh kali lipat."
Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه البخارى ومسلم

"Siapa yang puasa pada bulan Ramadhan karena iman dan harapan (pahala), niscaya diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Muslim).
Jika pun ada orang yang berpuasa dengan riya', itu merupakan sebuah kebodohan; sudah tidak dapat pahala, lapar lagi! Sementara pujian yang diperoleh dari orang lain tidak juga pernah 'mengenyangkan'.

Di sisi lain ganjaran yang besar dari Allah SWT memotivasi mereka untuk beramal ibadah, saling memperhatikan dan menebar kebaikan terhadap sesama manusia.
Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. رواه مسلم

"Barang siapa yang mendirikan bulan Ramadhan (dengan ibadah) karena iman dan harapan (pahala), niscaya diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Muslim).

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِمْ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا. رواه ابن ماجه

"Barang siapa memberi makanan berbuka bagi orang yang puasa, baginya sebesar pahala mereka (yang diberi bukaan) tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala mereka." (HR. Ibnu Majah).

Dalam sebuah riwayat disebutkan: Suatu ketika sahabat Anas bertanya kepada Rasulullah Saw: ''Ya Rasulullah, kapankah sedekah paling baik dilakukan?'' Rasul menjawab: ''Sedekah yang paling baik adalah sedekah di bulan Ramadhan.'' (HR Tirmidzi).

Ibnu Abbas ra. Juga meriwayatkan: Rasulullah Saw sangat dermawan terlebih saat bulan Ramadhan, kedermawanan beliau ibarat angin yang berhembus.

Namun demikian, walau setiap amal baik dijanjikan pahala yang sangat besar, amal tersebut tidak akan bisa terlaksana dengan baik tanpa adanya kesabaran dan keikhlasan. Sabar dan ikhlas inilah yang menjadi modal utama setelah iman untuk mencapai tingkat taqwa.

Kenapa taqwa yang menjadi target? Sebab dalam taqwa ada loyalitas kepada Tuhan. Loyalitas inilah yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan yang sesungguhnya. Wallahu a'lam.
Selengkapnya...

Cinta Sejati, Bagaimana Sih?

Kecondongan untuk mencintai pasangan jenis merupakan fitrah dan nikmat pemberian Tuhan. Dengan cinta manusia bisa saling mengisi, melengkapi, berbagi dan mencapai kebahagiaan hidup. Cinta ini pula yang membuat manusia berkembang di muka bumi. Sebaliknya, tanpa cinta, hidup manusia bisa menjadi hampa dan hambar, apalagi bagi mereka yang sudah mengenal dan merasakannya; kehidupan yang luas ini bisa terasa sangat sempit dan sesak, tidak ada gairah hidup. Bukankah itu yang dirasakan oleh mereka yang kehilangan kekasih?

Cinta Sejati dan Cinta Palsu
Cinta sejati muncul dari hati nurani. Namun cinta yang fitrah ini tak jarang ternoda oleh kebutaan terhadap hakekat cinta dan ketidakmampuan mengontrol ekspresi cinta.
Cinta sejati tidak bisa diukur dengan ungkapan kata-kata manis yang keluar dari bibir, tidak juga dengan kesetiaan kekasih yang selalu menemani di saat kesepian, dan tidak pula dengan janji-janjinya yang selalu ditepati. Memang, semua itu merupakan bagian dari tanda-tanda kesetiaan. Tapi perlu dipahami bahwa kesetiaan itu tidak selamanya berada di sisi positif. Ini terbukti dari banyaknya orang yang mewujudkan kesetiaan dalam hal yang negatif. Sementara cinta sejati atau hakiki akan selalu berada di sisi positif. Ketika orientasi cinta bergeser ke arah yang negatif, maka di saat itu kesucian cinta telah ternodai. Dan jika dia (cinta) lebih dominan di sisi negatif, maka itu adalah cinta palsu.
Jadi, cinta sejati adalah cinta yang positif dan cinta palsu adalah cinta yang negatif. Konkritnya bagaimana? Cinta sejati selalu berorientasi pada kebaikan, membawa diri sendiri dan orang yang dicintai kepada kebahagiaan yang sesungguhnya dan menjauhkan mereka dari penyesalan dan kesengsaraan. Kebaikan, kebahagiaan dan kesengsaraan yang dimaksud disini bukanlah yang menurut penilaian subjektif manusia, tapi menurut Pencipta manusia (Allah Swt). Dan itu bisa dipahami lewat ajaran agama yang diajarkan-Nya melalui Rasulullah Muhammad Saw.
Adapun cinta yang berbau maksiat tidak bisa dimasukkan dalam kategori cinta sejati, ia lebih tepatnya masuk dalam kategori cinta palsu. Sebab, maksiat jelas tidak bisa membawa seseorang kepada kebahagiaan yang sesungguhnya, kecuali hanya kebahagiaan sesaat yang menipu. Maksiat hanya akan membuahkan dosa yang berujung pada penyesalan dan kesengsaraan di kemudian hari.

Menemukan Cinta Sejati
Setiap orang memimpikan pasangan jenis yang mencintainya, namun tidak semua orang yang telah menemukannya mencintainya secara hakiki. Anak-anak muda sering berharap agar seorang gadis yang membuat dia jatuh cinta juga mencintainya. Namun ketika cinta mereka bertemu, dia tidak sabar menahan ekspresi cintanya. Berbagai jurus kemesraan berupa pujaan dan perhatian dikeluarkan hingga akhirnya mereka merasa sangat dekat, seakan tidak ada yang bisa memisahkan dan mengahalangi kemauan mereka. Mabuk cinta membawa mereka larut dalam perasaan, ekspresi dan perbuatan yang mestinya hanya menjadi hak orang yang sudah menikah. Mereka merasa telah menemukan cinta sejatinya. Benarkah demikian? Munculnya perasaan seperti itu tidak dipungkiri, namun sesungguhnya mereka telah tertipu oleh perasaan. Cinta mereka bukanlah cinta sejati, cinta mereka adalah cinta yang ternoda bahkan cinta palsu.
Lalu dimana kita menemukan cinta sejati? Hanya ada satu 'tempat' yang paling menjamin. Di 'tempat' ini Anda aman, damai, tenteram dan tidak ada bayang-bayang dosa saat mengekspresikan cinta. Justru disini – setiap Anda mengekspresikan cinta – anda diberi imbalan yang sangat besar. Apakah itu? Jawabannya: pernikahan.
Oleh karena itu, bagi Anda yang sudah punya calon, cepat-cepatlah menikah sebelum cinta Anda ternoda lebih banyak oleh maksiat. Kasihani calon ibu dari anak-anakmu agar jangan sampai mereka jatuh dalam lumuran dosa yang disebabkan ulahmu. Insya Allah cinta sejati akan membawa berkah bagi Anda, keluarga dan keturunan Anda.
Legalitas dari Tuhan untuk memiliki dan mengekspresikan cinta sejati lewat pernikahan telah termaktub di dalam Al-Qur'an. So, jangan berpaling ke yang illegal.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Ar-Rum: 21).
Selengkapnya...

Hukum Kawin Kontrak (Nikah Mut'ah) Menurut Islam

"Kawin kontrak itu asik," begitu yang terdetik di ruang khayal beberapa anak muda. Kenapa tidak? Dengan biaya dan tanggung jawab yang tidak berat, seorang laki-laki sudah bisa bersenang-senang dan memuaskan hawa nafsunya. Tapi tahukah mereka bagaimana hukum kawin kontrak dari sudut pandang agama? Mungkin ya mungkin juga tidak, itu sudah pasti. Biar lebih jelas, mari kita bahas.

Hukum Kawin Kontrak:
Para ulama Islam sejak dulu hingga sekarang sepakat atas haramnya kawin kontrak. Berikut ini saya petik di antara perkataan ulama-ulama Islam tentang kawin kontrak:

Perkataan Imam Ibnu Al Mundzir: "Pada masa awal Islam ada keringanan (bolehnya) kawin kontrak, tapi saat ini setahu saya tidak seorang pun yang membolehkannya kecuali sebahagian dari orang Syi'ah Rafidhah…."

Imam Al Khaththabi juga mengatakan: "Pengharaman nikah kontrak adalah sebuah ijma' (kesepakatan) kecuali oleh sebahagian orang Syi'ah. Pendapat mereka yang melegalkan kawin kontrak dengan alasan yang merujuk kepada Ali ra dan keluarganya tidak bisa diterima, sebab riwayat shahih yang bersumber dari beliau sendiri menunjukkan bahwa nikah kontrak telah dihapus.

Dasar hukum ijma' diharamkannya kawin kontrak bersumber dari dalil Al-Qur'an dan Hadits:

A. Dalil Al-Qur'an:
1. QS. Al-Mu'minun: 5-7:
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka, atau hamba-hamba sahaya yang mereka miliki; maka mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas."

Wanita yang dikawini dengan cara kontrak bukanlah isteri yang sah. Dalam hubungan suami isteri yang sah ada hak saling mewarisi, berlaku ketentuan talak yang tiga jika dibutuhkan, demikian juga 'iddah ketika terjadi talak. Sementara dalam kawin kontrak itu tidak berlaku.
2. (QS. An-NIsa': 25)

"Dan barangsiapa di antara kamu yang tidak mempunyai biaya untuk mengawini wanita merdeka yang beriman, maka (dihalalkan mengawini wanita) hamba sahaya yang beriman yang kamu miliki… (hingga firman Allah:) Yang demikian itu (kebolehan mengawini budak) adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Dan jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Jika kawin kontrak boleh, tentu Allah SWT akan menjadikannya sebagai sebuah solusi bagi mereka yang tidak mampu dan takut terhadap perbuatan zina.

B. Dalil Hadits:
1. Rasulullah Saw bersabda: "Wahai manusia, dulu aku mengizinkan kalian untuk kawin melakukan kawin kontrak. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat… (HR. Muslim).

2. Ali bin Abi Thalib berkata kepada Ibnu Abbas: " Pada saat perang Khaibar, Rasulullah Saw melarang nikah kontrak (mut'ah) dan (juga melarang) memakan daging himar yang jinak." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dampak Negatif Kawin Kontrak
Dilarangnya kawin kontrak tidak terlepas dari dampak buruknya yang jauh dari kemaslahatan ummat manusia, di antaranya:

1. Penyia-nyiaaan anak. Anak hasil kawin kontrak sulit disentuh oleh kasih sayang orang tua (ayah). Kehidupannya yang tidak mengenal ayah membuatnya jauh dari tanggung jawab pendidikan orangtua, asing dalam pergaulan, sementara mentalnya terbelakang. Keadaannya akan lebih parah jika anak tersebut perempuan. Kalau orang-orang menilainya sebagai perempuan murahan, bisakah dia menemukan jodohnya dengan cara yang mudah? Kalau iman dan mentalnya lemah, tidak menutup kemungkinan dia akan mengikuti jejak ibunya.

2. Kemungkinan terjadinya nikah haram. Minimnya interaksi antara keluarga dalam kawin kontrak apalagi setelah perceraian, membuka jalan terjadinya perkawinan antara sesama anak seayah yang berlainan ibu, atau bahkan perkawinan anak dengan ayahnya. Sebab tidak ada saling kenal di antara mereka.

3. Menyulitkan proses pembagian harta warisan. Ayah anak hasil kawin kontrak – lebih-lebih yang saling berjauhan – sudah biasanya sulit untuk saling mengenal. Penentuan dan pembagian harta warisan tentu tidak mungkin dilakukan sebelum jumlah ahli waris dapat dipastikan.

4. Pencampuradukan nasab lebih-lebih dalam kawin kontrak bergilir. Sebab disini sulit memastikan siapa ayah dari anak yang akan lahir.

Setelah melihat sumber dari Al-Qur'an dan Hadits serta sudut pandang maslahat dan mudrat kawin kontrak, dapat kita simpulkan bahwa kawin kontrak tidak diperbolehkan di dalam ajaran agama Islam.
Wallahu a'lam…


Baca Juga :
- Bukti Kerasulan Nabi Muhammad saw
- Arti Allah SWT
- Allah dalam Sejarah Arab
- Perang dan Jihad dalam Islam
- Benarkah Islam Melegalkan Perang Terhadap Orang-orang Kafir?
- Benarkah Islam Memaksa Orang Lain Masuk Islam?
- Adakah Jaminan Keselamatan dalam Islam?
Selengkapnya...

Gambar dan Video Manusia Terkuat di Dunia

Mustahil…! Kesan semacam itu sering terlintas di pikiran banyak orang saat menonton film Hulk, Samson, Incredible atau film-film lainnya yang menggambarkan manusia super power. Tidak pernah menyaksikan di depan mata tentu saja faktor utama timbulnya kesan tersebut.
Bagaimana kalau sosok manusia super power ini muncul di depan mata Anda secara tiba-tiba lalu mengangkat manusia paling gemuk dengan sebelah tangannya? Tercengang dan takjub, itu yang akan terjadi pada Anda. Tapi, tidak demikian pada keluarga Sayyid Muhammad Ahmad Abdallah, mereka sudah terbiasa hidup bersama manusia super power dan menyaksikan kekuatannya.
Hasil tes kedokteran mengungkapkan bahwa kekuatan Sayyid Muhammad menyeimbangi 260 kekuatan kuda atau setara dengan 30.000 kekuatan manusia biasa. Jadi tidak heran jika dia mampu mengangkat berat 70 ton, "menyobek" koin uang dengan jemari tangan, bahkan membengkokkannya dengan mata atau giginya.
Sayyid Muhammad ternyata bukan satu-satunya orang Mesir modern yang dikaruniai kekuatan super, ayahnya malah mempunyai kekuatan yang lebih dahsyat. "Ayah saya juga mempunyai kekuatan super. Saya punya 260 kekuatan kuda, sedangkan beliau memiliki 840 kekuatan kuda. Saya memperolehnya dari beliau." Ungkapnya kepada reporter Memri TV dalam sebuah wawancara khusus pada Agustus 2007 yang lalu.
Kekuatan Sayyid Muhammad tidak hanya sampai disitu, dalam wawancara tersebut dia mengungkapkan kemampuan seksnya yang mencengangkan setiap orang. "Saya harus rutin berhubungan seks 15 kali sehari?" katanya.
"Kok bisa!?" Tanya seorang reporter terkejut.
"Itu pemberian Tuhan," jelasnya, "makanya saya harus mempunyai 4 orang istri, kalau hanya satu tidak bisa"

Ada lagi yang membuat semua orang hampir tak percaya, Hercules abad 21 yang dikaruniai 35 anak ini tidak pernah tidur sepanjang hayatnya.

Meski Sayyid Muhammad mempunyai kelebihan berupa kekuatan yang luar biasa, namun itu tidak membuatnya menjadi manusia yang arogan. Tutur kata, sikap, dan sifatnya justru menunjukkan dan mengajak setiap orang kepada sifat rendah hati dan ramah yang bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada Sang Pencipta.

Nah, biar lebih jelas dan puas, monggo langsung lihat videonya:



Baca Juga :
- Manusia Terkecil di Dunia
- Bukti Kerasulan Nabi Muhammad saw
- Arti Allah SWT
- Allah dalam Sejarah Arab
- Hukum Kawin Kontrak dalam Islam
- Sujud Sajadah; Pengertian, Dalil, Bacaan dan Ayat-ayatnya
- Perang dan Jihad dalam Islam
- Benarkah Islam Melegalkan Perang Terhadap Orang-orang Kafir?
- Benarkah Islam Memaksa Orang Lain Masuk Islam?
- Adakah Jaminan Keselamatan dalam Islam?
Selengkapnya...

Al-Qur'an Katanya Keren, Tapi Kok Ummatnya Terbelakang?

Al-Qur’an memang sangat unik. Tidak ada kitab referensi agama yang sekomplit Al-Qur’an. Isinya tidak hanya menjelaskan masalah ke-Tuhan-an dan urusan ibadah. Al-Qur’an, selain berisi petunjuk keimanan juga mengandung petunjuk kehidupan yang universal; urusan pakaian, makanan, pergaulan dan etikanya, undang-undang sipil dan negara, petunjuk-petunjuk ilmiah, dan lainnya.
Namun dari sini kemudian timbul pertanyaan; Kalau memang Al-Qur’an sekomplit itu, lalu mengapa negara-negara yang mayoritas berpenduduk ummat Islam tidak lebih maju dari negara-negara lain? Mengapa IPTEK mereka terbelakang?
Untuk mengetahui faktor keterbelakangan ummat Islam, saya akan menjawab dari dua sisi; Pertama faktor dari luar, dan yang kedua faktor dari dalam Islam sendiri.
Namun sebelum membahas faktor keterbelakangan ini, agaknya perlu kita hilangkan anggapan bahwa ummat Islam selalu menempati posisi terbelakang. Karena itu mari sejenak kembali ke sejarah. Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah memimpin 2/3 dunia selama berabad-abad, mulai dari Indonesia Timur hingga daratan Andalusia (sekarang Spanyol); bangunan-bangunan megah peninggalan dinasti-dinasti Islam di India, Pakistan, mesjid pertama di Cina, Damaskus, Bagdad, Cairo, Spanyol, dan lain sebagainya merupakan sedikit di antara bukti kemajuan peradaban Islam jaman dahulu.
Dalam sejarah peradaban ummat Islam yang berabad-abad itu, ilmu pengetahuan dan sains digalakkan. Ribuan tokoh muslim lahir menyeka kegelapan dengan cahaya ilmu pengetahuan. Avisenna hadir dengan filsafat dan ilmu kedokterannya, Ibnu Batutah dengan catatan penjelajahan dunianya sebelum Cristoper Colombus, Al-Jabar dengan teori matematika Aljabarnya, Averose dengan pemikiran dan filsafatnya, dan lain sebagainya.
Puncak kejayaan ilmu pengetahuan terjadi pada masa pemerintahan khalifah Harun Ar-Rasyid dari dinasti Abbasiyah.
Melihat kemajuan ini, raja-raja Eropa merasa tertarik untuk mengutus delegasi-delegasi pelajarnya ke Cordova, pusat dinasti Islam di Spanyol saat itu. Prancis misalnya, pernah mengutus 700 pelajar ke Cordova. Sehingga Eropa yang ‘gelap’ pun menjadi tercerahkan. Dari sini lahirlah semangat renaisens yang menjadi spirit kebangkitan Eropa pada fase-fase berikutnya secara bertahap.
Namun sayangnya, setelah Eropa keluar dari kegelapan, ummat Islam disapu bersih dari daratan Spanyol. Tidak sampai disitu, mereka juga melakukan ekspansi ke dunia timur termasuk negara-negara mayoritas muslim seperti Indonesia untuk tujuan 3 G; Gospel (penginjilan), Gold (emas dan kekayaan) dan Glory (kejayaan). Nah, disini Eropa tidak melakukan pencerahan sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Islam di Eropa sebelumnya. Justru yang sering terjadi adalah praktek kerja paksa, pembodohan, adu domba antar penguasa, menutup perhatian terhadap pendidikan, dan lain-lain.
Tentu saja ini semua menghambat pola pikir dan kemajuan dunia timur.

Kembali ke faktor keterbelakangan ummat Islam tadi.
Pertama, faktor dari luar. Dari penjelasan singkat di atas dapat kita ambil satu poin faktor keterbelakangan ummat Islam, yaitu ekspansi Eropa ke dunia Timur Islam.
Selain Eropa, pasukan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan juga pernah melakukan ekspansi besar-besaran ke pusat dinasti Abbasiyah di Bagdad.
Dalam ekspansi besar-besaran ini, terjadi pembakaran buku-buku karya ilmiyah yang sangat bernilai dalam peradaban ummat Islam. Karena banyaknya buku-buku yang dibakar ini, sampai-sampai ada yang mengatakan sungai Efrat berubah menjadi warna tinta.
Faktor yang kedua, dari dalam Islam sendiri. Perlu dicermati bahwa kebangkitan ummat Islam pada jaman dahulu tidak lain karena mereka mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Al-Qur’an dan Hadits secara komprehensif. Ajaran Al-Qur’an tidak diambil setengah-setengah. Motivasi belajar, mengajar dan berpikir, petunjuk-petunjuk ilmiah, nilai keadilan dan kebaikan, perintah dan larangannya, tuntunan ibadahnya, semuanya mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sangat berbeda dengan fenomena ummat Islam sekarang yang sudah semakin jauh dari Al-Qur’an dan Hadits. Nilai-nilai Al-Qur’an yang menjadi faktor pendukung kemajuan peradaban dan IPTEK telah banyak yang luput dari perhatian. Mereka sudah lebih condong untuk memperhatikan nilai-nilai ajaran Al-Qur’an dari sisi ibadah. Sehingga Al-Qur’an sering terkesan hanya sebagai kitab ibadah yang berhubungan dengan Tuhan saja.
Lebih spesifiknya tentang faktor keterbelakangan ummat Islam dari dalam adalah sebagai berikut:
1. melemahnya aktualisasi petunjuk-petunjuk berpikir dan menganalisa sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur'an
2. terlalu cepat merasa puas terhadap karya-karya para tokoh Islam terdahulu
3. menyuburnya 'gerakan-gerakan sufi yang hanya menyibukkan diri' dengan urusan-urusan ibadah
4. sifat malas yang seakan telah menjadi virus yang mengendap di tubuh masyarakat muslim
5. menipisnya rasa tanggungjawab sebagai khalifah Tuhan yang harus memakmurkan dan menyebarkan keadilan di muka bumi
6. memudarnya kebanggaan dan kecintaan terhadap kitab suci Al-Qur’an
7. terpengaruh budaya materialis
8. memudarnya solidaritas dan persatuan ummat Islam
9. dan lain sebagainya
Kesimpulannya: aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an tidak lagi menyeluruh.

Mencari Solusi
Sebahagian ummat Islam mencoba untuk keluar dari keterbelakangan dengan mengikuti jejak langkah Barat secara 100%. Namun ini bukanlah solusi yang tepat. Sebab Barat memisahkan agama mereka dari peradaban (sekulerisme). Mengikuti langkah mereka secara 100% hanyalah menghilangkan identitas peradaban Islam dan tetap memposisikannya di urutan belakang. Tapi bukan berarti ummat Islam harus menutup diri dari semua langkah Barat. Karena kita juga tidak memungkiri jika kemajuan Barat tidak lepas dari faktor nilai-nilai Al-Qur’an yang mereka aktualisasikan berupa kesungguhan, petunjuk-petunjuk berpikir dan riset yang sudah mereka kembangkan. Hanya saja karena mereka tidak merealisasikannya sesuai dengan tujuan, bimbingan dan nilai-nilai Al-Qur’an, mereka mengalami kesenjangan rohani dan dekadensi moral yang parah. Tidak jarang juga terjadi "ifsad fi al-ardh".
Kesimpulannya kalau ummat Islam ingin maju dengan warna keislamannya, maka ummat Islam harus kembali kepada nilai-nilai dan ajaran Al-Qur’an dan Hadits.
Wallahua’lam...
Selengkapnya...

Kisah Salman Al Farisi dalam Mencari Kebenaran

Salman, seorang pemuda berkebangsaan Persia merasa kagum melihat ritual ibadah orang-orang Kristen (Nasrani) di gereja. "Sungguh, ini lebih baik dari agama kami," ucapnya dalam hati.

Begitu tertariknya dia dengan ritual ibadah tersebut, dengan senang hati dia menyaksikannya hingga selesai dan berdialog dengan mereka hingga matahari terbenam. Sementara orang tuanya di rumah sudah lama menunggu dengan was-was. Hatinya bertanya-tanya, kenapa anak kesayangan yang selama ini dia jadikan seperti gadis pingitan itu tidak juga kembali.

Setelah hari gelap, dia kembali ke rumah. Langsung saja orang tuanya menginterogasinya. Karena khawatir anaknya murtad dari agama Majusi, dia merantai kaki dan mengurungnya di rumah. Saat mendengar kabar adanya rombongan kafilah
Kristen yang akan bertolak ke Syam, dia berhasil melepaskan diri dan berangkat bersama mereka.

Setiba di Syam dia bertanya, "Siapa orang
Kristen yang paling tahu agama disini?"
"Uskup," jawab mereka.

Dengan segera dia menemuinya dan mengungkapkan keinginannya untuk menjadi pemeluk agama
Kristen, pelayan gereja dan murid sang uskup. Tapi ternyata… orang yang dia tuju bukanlah orang yang dia impikan. Si uskup bukanlah orang yang taat sepenuhnya kepada agama Kristen. Dia menganjurkan dan menyuruh orang-orang untuk bersedekah. Setelah sedekah banyak terkumpul, termasuk di antaranya emas dan perak, dia menyimpannya untuk diri sendiri tanpa pernah membagikannya kepada orang-orang miskin. Dengan spontan rasa senang dan cintanya kepada uskup berubah derastis menjadi benci.

Ketika sang uskup meninggal dunia, kepada para pelayat Salman membeberkan kejelekan si uskup dan menunjukkan harta simpanannya. Amarah mereka naik, mereka menyalib mayat si uskup dan melemparinya dengan batu.

Setelah pengganti uskup dilantik, Salman tetap mengabdi pada gereja. Uskup yang sebelumnya sangat berbeda dengan baru ini; budi pekertinya baik, sangat senang beribadah, dan mencintai kehidupan akhirat. "Aku sangat mencintainya, tidak ada orang yang lebih kucintai dari dia sebelumnya," kata Salman.

Hingga suatu saat, Salman merasa sedih. Uskup yang dia senangi itu harus menyampaikan pesan terakhirnya kepadanya, "Manusia telah rusak, mereka telah merubah dan meninggalkan kebanyakan ajaran agama mereka. Demi Allah, setahu saya tidak ada orang yang sejalan dengan saya saat ini kecuali seorang pria yang bertempat tinggal di wilayah Mosul, namanya fulan," kata sang uskup.

Sesudah uskup meninggal, dia pun bertolak ke Mosul mencari orang yang disebutkan oleh uskupnya. Namun di sela-sela pengabdiannya ini, pria itu meninggal dunia, sehingga pengabdiannya harus berpindah lagi ke pendeta lain.

Begitulah Salman, hidupnya selalu berpindah-pindah dari satu pendeta ke pendeta yang lain. Dan setiap para pendeta yang mengasuhnya mendekati ajal, dia selalu meminta nasehat dan wasiat; kepada siapa dia harus pergi dan mengabdi sepeninggal mereka.
Hingga suatu saat Salman pun sampai di Umuria, sebuah wilayah kekuasaan Romawi Timur. Disini dia juga mengabdi kepada seorang pendeta sambil bekerja hingga dia memiliki sapi dan kambing. Disini, kesedihan yang sudah sering dia rasakan di akhir hayat para pengasuhnya kembali terulang. Sebelum meninggal, si pendeta
berwasiat: "Anakku, saya tidak tahu kepada siapa engkau harus pergi sesudahku. Sebab saya tidak tahu ada orang yang sejalan dengan kita. Tapi sekarang ini sudah tiba masa seorang nabi yang diutus untuk melanjutkan agama Ibrahim. Dia lahir di tanah Arab dan akan hijrah ke sebuah tempat yang terletak di antara dua gunung berbatu. Di tempat ini ada pepohonan kurma. Nabi itu mempunyai ciri-ciri yang jelas; dia makan hadiah tetapi tidak makan sedekah, di antara dua pundaknya ada tanda kenabian. Jika engkau sanggup pergi kesana, pergilah."

Salman merasa kehilangan lagi. Dia habiskan hari-harinya menunggu kafilah yang datang dari wilayah Jazirah Arabia, hingga suatu saat beberapa orang pedagang datang ke Umuria. Dengan imbalan sapi dan kambing yang dia miliki, mereka membawanya ke Jazirah Arabia. Namun malangnya, Salman ditipu. Mereka menjualnya dengan status budak ke seorang Yahudi. Di pemukiman Yahudi yang sudah menjadi tuannya ini, dia dijual lagi ke Yahudi lain yang datang dari kota Yatsrib. Betapa senang hatinya, ternyata dia telah sampai ke tempat yang disudah ditujunya, yang dia kenal lewat cerita seorang pendeta.

Waktu demi waktu telah berlalu, namun kabar seorang nabi yang dia tunggu-tunggu tak kunjung datang juga. Statusnya sebagai seorang budak yang selalu sibuk mengerjakan perintah tuannya semakin menjauhkan dia dari berita seorang nabi di Makkah yang sudah mulai ramai dibicarakan masyarakat Yatsrib.

Pada suatu hari, ketika Salman sedang memanjat pohon kurma, dia mendengar tuannya bersama saudaranya membicarakan orang-orang yang keluar menuju Quba’ untuk menyambut kedatangan seorang pria yang mereka yakini sebagai nabi. Hati Salman bergetar, hampir-hampir dia jatuh menimpa tuannya. Lalu dia turun, "Kau cerita apa tadi? Cerita apa tadi?" tanyanya kepada saudara tuannya meyakinkan kebenaran berita itu. Sebelum pertanyaannya dijawab, tangan tuannya memukulnya dengan keras.

"Perlu apa sih?! Teruskan pekerjaannya!" bentak tuannya.

"Tidak ada apa-apa kok. Hanya ingin menguatkan kebenarannya saja" jawabnya.
Sore harinya, Salman diam-diam mengambil makanan yang dia simpan lalu pergi ke Quba’ untuk menemui orang yang dia yakini sebagai nabi yang ditunggu-tunggu.

"Saya dapat kabar bahwa Anda ini adalah orang saleh dan mempunyai sahabat asing yang membutuhkan. Ini ada sedikit sedekah dari saya. Saya pikir kalian lebih berhak menerimanya." kata Salman sambil mengulurkan makanan yang dia bawa.

"Silahkan dimakan" kata nabi itu kepada sahabat-sahabatnya, sementara dia sendiri tidak memakannya.

"Satu" kata Salman di dalam hati.

Dia pulang dan mengumpulkan makanan lagi. Ketika nabi itu sudah tiba di Yatsrib, dia menemuinya lagi, "Dulu saya melihat Anda ini tidak makan sedekah. Ini ada hadiah sebagai persembahan saya untuk Anda?" katanya.

Nabi itu lalu memakannya dan menyuruh para sahabatnya untuk ikut makan.

"Dua" kata Salman dalam hati.

Kemudian, dia datang lagi menemui sang nabi untuk yang ketiga kalinya. Kali ini dia menemuinya di Baqi’, saat nabi mengantar jenazah ke pemakaman. Ketika nabi duduk, Salman pergi ke belakangnya untuk melihat tanda kenabian yang ada di antara dua pundaknya sebagaimana yang disebutkan dahulu oleh pendeta Umuria kepadanya. Ketika nabi melihat dan mengetahui tingkah Salman, dia menanggalkan pakaian yang menutupi punggungnya. Salman tertegun melihat sebuah tanda kenabian. Dia menciumnya. Tak kuasa dia menahan tangis.

"Menghadaplah ke depanku" kata nabi.

Salman menghadap, lalu menceritakan kisah perjalanannya kepada Rasulullah Muhammad Saw.
***

Salman, dikenal oleh para sahabat Rasulullah Saw dan orang-orang sesudahnya dengan nama Salman Alfarisi. Untuk menebus dirinya dari perbudakan, dia harus menanam dan menghidupi 300 bibit kurma untuk tuannya ditambah 40 uqiyah emas (kira-kira 1190 gram emas). Lalu nabi Muhammad Saw menyuruh para sahabatnya untuk membantunya menurut kemampuan masing-masing. Beliau sendiri ikut membantunya dengan menanam pohon kurma dan memberikan emas.

Salman Alfarisi mempunyai peranan yang sangat besar dalam perang Khandaq berkat idenya untuk menggali parit penahan musuh.

*) Kisah di atas disarikan dari Sirah Nabawiyah Ibnu Katsir dan Sirah Ibnu Hisyam.
Selengkapnya...

Jaminan Keselamatan Dalam Islam


Saya terkejut saat berdialog dengan seorang ibu yang murtad dari agama Islam dengan alasan mencari keselamatan. Katanya, agama barunyalah satu-satunya agama yang menjamin keselamatan manusia menuju surga, sementara Islam tidak, “Tidak ada keselamatan di dalam Islam,” katanya.

Saat saya mencoba menjelaskan, ibu itu malah menutup dialog dengan melontarkan sebuah tantangan: “Coba cari dulu dalilnya di dalam Al-Qur’an dan Hadits, baru kamu ngomong. Tapi yakinlah, pasti tidak ada.” katanya meyakinkan saya.
Selengkapnya...

Semua Rencana Butuh Proses

Tidak ada cita-cita yang tercapai dengan tiba-tiba. Seperti halnya manusia yang membutuhkan makanan untuk hidup, cita-cita juga mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika tidak, cita-cita tersebut akan pudar dan mati secara perlahan-lahan.

Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, harus diketahui dengan jelas jenis kebutuhan dan sifatnya. Kebodohan akan kebutuhan ini akan membuat jalannya semakin berliku-liku, pengorbanan juga akan lebih banyak yang terbuang. Namun pengetahuan juga tentu tidak cukup, harus ada tindak lanjut. Semakin kebutuhannya diperhatikan, semakin mudah pula jalan untuk mencapainya.

Pada dasarnya kebutuhan semua cita-cita, impian dan rencana hanyalah satu: ‘proses’. Di dalam proses ada tahapan waktu, di dalam waktu harus ada usaha, di dalam usaha dibutuhkan keistiqamahan, dan di dalam usaha dan istiqamah ini diperlukan kesabaran. Semua unsur tersebut adalah satu kesatuan ‘proses’ yang tidak bisa dipisahkan.

Antara waktu dan usaha juga mesti ada keseimbangan. Waktu diseimbangkan dengan pemenuhan hak-hak Allah Swt., hak diri sendiri dan hak orang lain. Sedangkan usaha diseimbangkan dengan kemampuan dan kondisi.

Waktu dan usaha tidak perlu dipaksakan, cukup diikuti, tapi tentu dengan memperhatikan aturan-aturannya. Sebab pemaksaan seringkali menyingkirkan hasil yang diharapkan. Jika pun hasil tersebut mungkin diperoleh dengan cara paksa, bisa diprediksikan tidak maksimal. Ibaratnya seperti sebuah paku yang lurus, namun karena ditancapkan ke dinding secara paksa dengan kekuatan penuh, ia pun menjadi bengkok.

Deny Subastian, tetangga kamar saya di Bu’uts City, Kairo, pernah menuturkan kepada saya tentang sosok tokoh yang dia kagumi: “Ahmad Dedat itu tidak langsung jadi seperti yang pertama kali kita kenal. Dia butuh puluhan tahun untuk belajar hingga menjadi kristolog terkemuka dan debator yang sangat disegani (di akhir abad 20). Dia dikenal di mata dunia bukan di masa mudanya, tapi di masa tuanya.”

Bisa dibayangkan berapa banyak waktu dan proses yang dilewati oleh Ahmad Dedat untuk menjadi tokoh besar.

Kisah perjuangan Imam Bukhari dalam menyusun karya fenomenalnya Shahih Al-Bukhari – yang telah memberikan kontribusi besar bagi masyarakat dunia dalam pemahaman Islam dari sumbernya yang asli – juga memberi pelajaran berharga betapa pentingnya sebuah proses.

Imam Bukhari bukanlah ahli hadits sejak masa kelahirannya. Seperti halnya orang lain, beliau pernah mengalami fase tidak tahu apa-apa, kemudian beralih ke fase belajar; belajar dari lingkungan, orang-orang dekat dan guru pembimbing. Dari belajar ini – seiring dengan perkembangan waktu – ilmu pengetahuannya pun semakin bertambah secara bertahap.

Dalam proses penyusunan karyanya Shahih Al-Bukhari, dia mengorbankan banyak waktu dan tenaga. Penelitian hadits dilakukannya ke berbagai penjuru negeri Arab, tanpa kenal lelah dia lalui gurun sahara yang luas membentang, angin gurun dan terik matahari dia tantang, orang-orang yang iri tak jarang ‘menghadang’. Namun, berkat proses yang tepat, akhirnya dia berhasil dengan gemilang.

Ahmad Dedat dan Imam Bukhari hanyalah dua di antara jutaan tokoh dunia yang sangat berpengaruh di bidangnya masing-masing. Tidak ada di antara mereka yang terlahir bersama ketokohannya. Dalam meraih gelar ketokohan, mereka semua melewati hukum proses yang tidak berbeda; waktu, usaha, konsintensi plus nilai-nilai keimanan bagi mereka yang mukmin.
Selengkapnya...

Kepekaan dan Kepedulian Sosial

Di tengah perjalanan antara Tonto dan Kairo kemarin (11/2/2009), saya coba untuk memanfaatkan waktu sejenak untuk istirahat. Mataku baru saja terpejam untuk tidur, "Darrrr….!" suara mobil terhempas kudengar datang dari arah samping kiriku. Kubuka mata sambil memalingkan wajah ke arah seberang jalan, "innaalillah…!" sebuah truk mini pengangkut barang dagangangan terbalik di jalan raya. Sopir mobil angkutan bermuatan 15 orang yang saya tumpangi langsung mengerem mobil dan meminggirkannya. Para penumpang berhamburan keluar dan berlari ke arah truk itu. Mobil-mobil pribadi, angkutan dan dagang yang sedang melaju juga langsung berhenti untuk memberikan pertolongan. Hanya dalam hitungan detik, puluhan orang sudah berkerumun memberikan bantuan kepada awak truk yang naas itu.

Aku kagum! Mereka itu masih sempat-sempatnya menolong orang yang tidak mereka kenal latar belakangnya, organisasi, suku, agama dan partainya. Mereka tidak peduli waktu perjalanan tersita jika itu untuk menyelamatkan orang lain.

Aku takjub pada kepekaan dan kepedulian mereka terhadap orang yang membutuhkan pertolongan.

Pemandangan di atas sangat berbeda jauh dengan apa yang pernah saya lihat di sebuah perbatasan di Sumatera bagian selatan sekitar 6 tahun yang lalu. Sebuah truk terperosok ke dalam kubangan jalan yang rusak parah. Para awaknya berusaha keras mengeluarkannya dari lubang tersebut dengan sekuat tenaga, namun tidak berhasil. Sementara puluhan pengemudi kendaraan yang lewat hanya bisa melihat-lihat sambil terus jalan, malah ada yang pura-pura tidak tahu apa-apa. Tidak ada kepekaan dan kepedulian bagi mereka. Kalau pun ada yang peduli, hanya sebatas ungkapan basa-basi. Alasan waktu dan kepentingan kadang memang menjadi alasan, tapi rasanya tidak mungkin jika semua pengemudi yang lewat mempunyai alasan yang harus diprioritaskan. Melihat fenomena seperti ini, sebuah pra-sangka lalu muncul: mungkin saja yang terlintas di pikiran sebabagian di antara mereka sewaktu itu: siapa juga mereka bagi saya, mereka bukan keluargaku, bukan temanku, bukan siapa-siapaku. Kalau pun saya bantu, apa juga gunanya bagi saya selain hanya akan menyita sebagiaan waktu perjalanan saya. Imbalan dari mereka? Saya tidak butuh, yang ada di tangan saya sudah cukup bahkan lebih.

Pikiran seperti ini memang dapat diterima jika dipandang dari ‘mata’ keegoisan. Namun bagaimana pun juga, egoisme bukanlah sifat yang lebih menguntungkan.
Egoisme, selain tidak menambah kehormatan, hanya akan menurunkan kewibawaan.
Egoisme, selain tidak menambah sahabat, hanya akan membuat orang menjauh dari kita.
Egoisme, selain berat memberikan manfaat hanya akan menutup pintu manfaat dari orang lain.

Egoisme, selain menjadikan terasing di tengah keramaian, hanya akan menghalangi diri dari nikmatnya keberadaan orang lain.

Sebaliknya kepekaan dan kepedulian sosial akan membuat seseorang lebih banyak menikmati hidup di tengah keberadaan orang lain. Perhatian dan bantuannya – dalam bentuk apa pun – kepada orang lain membuatnya merasa senang, dada dan pikirannya terasa lapang dan damai. Kenikmatan batin semacam ini akan berlipat ganda jika dibarengi dengan niat ikhlas karena mengharap rido Allah Swt.

Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin telah memberikan petunjuk-petunjuk mu’amalah (interaksi sosial) dan mengatur hak-hak individu dengan yang lainnya. Ajaran kasih sayang, kewajiban zakat fitrah dan zakat harta, anjuran-anjuran berinfaq dan bersedeqah, petunjuk agar saling tolong menolong di dalam kebaikan dan taqwa, ajaran persaudaraan, hak-hak tetangga, perintah agar berlaku adil dan petunjuk-petunjuk mu’amalah lainnya merupakan ajaran-ajaran kepekaan dan kepedulian sosial.
Selengkapnya...

Bukti Kerasulan Nabi Muhammad Saw

Tanpa bukti yang jelas, sebuah pengakuan tidak bisa dibenarkan. Semua orang sepakat dengan kaidah ini.
Seorang yang mengaku sebagai rasul atau utusan Allah juga harus dengan bukti. Muhammad Saw termasuk di antara manusia yang mengaku rasul yang diutus Allah Tuhan semseta alam kepada segenap manusia. Seperti halnya para nabi dan rasul sebelumnya, dia juga membawa bukti kerasulan berupa mukjizat-mukjizat yang tidak bisa ditandingi dan ditiru oleh orang lain, seperti: memperbanyak makanan yang sedikit sebagaimana yang terjadi saat perang Khandaq (Jawami’ussirah, Ibnu Hazam), mengeluarkan air bersih dari sela-sela jemarinya (riwayat Imam Bukhari, Malik, Ahmad dan Baihaqi), suara tangis tongkatnya yang di dengar oleh para sahabatnya, menghilang dari penglihatan Ummu Jamil saat ingin mencelakainya, dan sebagainya.
Dari sekian mukjizat nabi Muhammad Saw., ada satu mukjizat yang paling besar yaitu kitab suci Al-Qur’an. Di antara alasannya:

1) Di dalam beberapa ayat, Al-Qur’an menantang semua ummat manusia untuk membuat yang semisal dengan Al-Qur’an, namun tidak ada yang bisa melakukannya sampai saat ini walau hanya satu surah yang paling pendek. (QS. Al-Baqarah: 23, QS. Al-Isra’: 88, dan QS. Yunus: 38).

2) Bahasa Al-Qur’annya yang tinggi namun sangat indah, susunannya menakjubkan, isinya padat dan sejalan dengan perkembangan masa, tidak ada pertentangan dan kekeliruan di dalamnya. Semuanya membuktikan bahwa Al-Qur’an memang benar-benar firman Allah Swt yang tidak ada keraguan di dalamnya.

3) Keabadian Al-Qur’an. Al-Qur’an yang sekarang adalah Al-Qur’an yang dahulu. Tidak ada perubahan kata bahkan huruf di dalamnya. Itu karena Allah Swt benar-benar menjaganya dari perubahan, seperti yang dijanjikanNya di dalam QS. Al-Hijr: 9.

4) Mukjizat ilmiahnya yang terus-menerus terungkap.

5) Mukjizat Al-Qur’an ini tidak hanya disaksikan oleh orang-orang yang hidup di masa turunnya, tapi juga oleh generasi sesudahnya hingga akhir zaman.

Selain mukjizat, kerasulan nabi Muhammad Saw juga bisa dilihat dari bukti-bulti berikut:

A. Riwayat Hidupnya
Dr. Sa’id Shawabi di dalam buku al-Mu’iin ar-Raa’iq Min Siirati Khairi al-Khalaaiq, Cairo menjelaskan: “…Seandainya Muhammad saw tidak mempunyai mukjizat selain sejarah perjalanan hidupnya, itu sudah cukup (sebagai bukti kerasulannya).” Dia juga menilai bahwa riwayat perjalanan hidup Muhammad saw adalah bukti kerasulannya yang paling besar.
Orang yang mempelajari dan menghayati cara bicara, sifat-sifat, prilaku dan kenyataan hidup yang dilalui oleh Muhammad saw sejak masa lahir hingga akhir hayatnya akan yakin bahwa dia adalah rasul utusan Allah.
Peristiwa yang terjadi di malam kelahirannya, tumbuh dewasanya dalam keadaan yatim di tengah-tengah penduduk negeri yang tidak bisa tulis baca yang menyembah patung-patung yang mereka buat sendiri, ketidakmampuannya dalam hal tulis baca, dan kebutaanya terhadap Alkitab (taurat dan Injil)… Semuanya menjadi bukti kerasulan dan kebenaran yang dia ajarkan.
Karena ketulusan, kejujuran dan kebaikan akhlaknya, penduduk Makkah telah memberinya gelar Al-Amien (yang terpercaya).
Inilah pengakuan penduduk Makkah di bukit Shafa, menjelang detik-detik pendeklarasiannya sebagai rasul utusan Allah kepada ummat manusia: “Kami tidak pernah mendapatkanmu kecuali benar.” (Imam Bukhari, Muslim dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas).

B. Beberapa saksi dan Peristiwa Ajaib di Masa Pra Kerasulan (Irhash)
Antara lain:
1. Peristiwa yang mengiringi malam kelahiran Muhammad saw.
a. Kesaksian pedagang Yahudi Makkah dan Yahudi penduduk Yatsrib
Berikut intisari riwayat Hakim dari Aisyah ra: “Ada seorang pedagang Yahudi yang tinggal di Makkah. Pada malam kelahiran Rasulullah, dia bertanya di perkumpulan orang-orang Quraisy: Apakah ada anak yang lahir di antara kalian malam ini? Mereka menjawab: kami tidak tahu….
Si Yahudi menjelaskan: Pada malam ini lahir Nabi terakhir ummat ini, Ahmad (yang terpuji). Kalau kalian salah, berarti dia (lahir) di Palestina. Di antara dua pundaknya ada tahi lalat hitam kekuningan….
Setelah mereka pulang ke rumah masing-masing, sebahagian dapat kabar bahwa di malam itu lahir seorang anak dari Abdullah bin Abdul Muthalib yang diberi nama Muhammad.
Besoknya mereka bersama si Yahudi mendatangi bayi tersebut. Saat melihat tahi lalat di belakangnya si Yahudi langsung pingsan. Setelah siuman, orang-orang Quraisy bertanya: Ada apa denganmu? Jawabnya: Kenabian telah hilang dari bani Israel, al-Kitab telah lepas dari tangan mereka….
Tentang kesaksian Yahudi Yatsrib, Ibnu Ishak meriwayatkan dengan nara sumber dari Hassan bin Tsabit: “Saat saya masih kecil berusia tujuh atau delapan tahun dan sudah punya ingatan, seorang Yahudi berteriak keras di bangunan yang tinggi di Yatsrib (sekarang Madinah): “Hai orang-orang Yahudi…!”
Setelah orang-orang berkumpul, mereka bertanya: “Ada apa, kenapa?“ Jawabnya: “Malam ini telah muncul bintang tanda kelahiran Ahmad.”
Ibnu Ishak bertanya kepada anak Hassan bin Tsabit: “Bearapa usia Hassan bin Tsabit saat kedatangan Rasulullah saw ke Madinah?” Dia menjawab: 60 tahun, dan Rasulullah saw di waktu itu 53 tahun.

b. Peristiwa di Persia.
Makhzum bin Hani’ meriwayatkan dari ayahnya: Di malam kelahiran Rasulullah saw, istana Kisra hancur, empat belas berandanya runtuh, api Persia (sesembahan orang-orang Majusi) yang tidak pernah padam selama seribu tahun menjadi padam, danau Sawah menyurut….

2. Keberkahan hidup Halimah Assa’diyah
Dia adalah ibu susuan Muhammad saw. Air susunya yang semula sangat sedikit menjadi deras, himar kendaraannya yang lambat menjadi cepat, kambing gembalaannya memiliki air susu yang banyak, tanahnya juga menjadi subur dan cepat berbuah (HR. Ibnu Hibban dan Hakim dalam sebuah hadits yang panjang).

3. Pembedahan dadanya oleh malaikat Jibril di saat kecil
Di dalam Hadits shohih yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas disebutkan: Saat sedang bermain dengan anak-anak, Jibril datang mengambil Muhammad lalu membantingnya dan membedah dadanya. Kemudian dia menegluarkan segumpal darah darinya sambil berkata: "Ini adalah bagian dari syetan…" Lalu dia mencucinya di dalam bejana emas berisi air zam-zam. Kemudian menyatukan dan mengembalikannya ke tempat semula.

4. Awan menaungi perjalanannya
Rahib Bahira terheran-heran melihat sebuah kafilah dagang yang datang dari Makkah, kafilah ini sudah sering lewat, tapi kali ini tidak seperti biasanya. Di atas mereka ada awan yang menaungi perjalanan mereka. Ketika mereka berhenti di bawah sebuah pohon, awan itu pun berhenti. Pendeta ini memandangi rombongan ini seakan mencari sesuatu dari mereka. Dia mendekat, lalu memegang tangan Muhammad saw yang masih anak-anak sambil berkata: “Ini adalah pemimpin dunia dan rasul Tuhan semesta alam, Allah mengutusnya sebagai rahmat bagi alam semesta”
Beberapa sesepuh Quraisy bertanya: “Engkau tahu dari mana?”
“Saat kalian datang, pohon dan batu menunduk sujud. Kedua-duanya tidak sujud (kepada manusia) selain kepada seorang nabi. Dan saya juga mengetahui dia (sebagai nabi) dari khatam an-nubuwah yang ada di pundaknya….” (HR. Tirmidzi dan Hakim).
Keajaiban awan ini sangat masyhur dan telah disaksikan oleh banyak orang termasuk Maisarah di saat pergi bersama Muhammad saw ke daerah Syam membawa dagangan Khadijah, demikian juga Khadijah, pembantu-pembantu wanitanya, dan lainnya.

5. Rahim Khadijah yang berusia 40 tahun menjadi subur
Nabi Muhammad saw menikah di usia yang ke 25 dengan Khadijah yang berusia 40 tahun. Seperti biasanya, usia 40 tahun adalah batas masa kesuburan perempuan. Namun ketika menikah dengan Muhammad saw, justru rahim Khadijah ra menjadi semakin subur. Dari hasil perkawinan yang berkah ini, lahir 6 orang anak yaitu: Qasim, Ummu kultsum, Ruqayyah, Zainab, Fathimah. dan Abdullah (Kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar dan Sirah Nabawiyah, Ibnu Katsir).

C. Tanda Kenabian yang Ada di Antara Dua Pundaknya
Tanda kenabian yang satu ini disebut dengan khatam an-nubuwah yang dia bawa sejak lahir. Khatam an-nubuwah artinya stempel kenabian. Di dalam riwayat Hakim disebutkan tanda ini adalah tahi lalat berwarna hitam kekuning-kuningan. Sebahagian ulama mengatakan disitu tertulis "محمد رسول الله" (Muhammad rasul utusan Allah).
Selain keajaiban awan, tanda ini telah membuat pendeta Bahira menyuruh Abu Thalib yang sedang berdagang di Syam untuk segera membawa Muhammad saw pulang ke Makkah. Sebab, dia khawatir jika orang-orang Yahudi yang mengetahuinya akan membunuhnya karena iri. (Uyuun al-Atsar, juz 1).
Tanda ini juga yang dicari oleh seorang shahabat berkebangsaan Persia, Salman Alfarisy atas wasiat dari seorang pendeta kristen Umuriyah, Wilayah Romawi. (Siirah Nabawiyah Juz 1, Ibnu Katsier).
Tanda ini pula yang diselidiki oleh Tanukhi atas perintah raja Romawi Timur, yang pada akhirnya membuatnya masuk Islam (HR. Ahmad).

D. Kabar Para Nabi dan Kitab-kitab Sebelumnya
Berita kerasulan Muhammad saw yang disampaikan oleh pedagang Yahudi di Makkah, penduduk Yahudi Madinah, pendeta Bahira di wilayah Syam dan pendeta Waraqah bin Naufal di Makkah mengisayaratkan adanya kabar tersebut dari kitab dan para nabi dahulu. Tanda-tanda kerasulan Muhammad saw yang diselidiki oleh Salman Al-Farisy atas wasiat seorang pendeta kristen Umuriyah dan oleh Tanukhi, utusan raja Romawi Timur di saat itu, juga semakin memperjelas masalah ini. Namun karena disinyalir kitab-kitab terdahulu ini telah banyak dirubah oleh tangan-tangan manusia, berita kerasulan tersebut hampir tidak ditemukan lagi sekarang ini.
Tentang adanya pemberitaan dari Nabi Isa as, Allah Swt menegaskan di dalam Al-Qur’an:
“Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: Wahai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah rasul utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku yang namanya Ahmad (Muhammad).” (QS. Ash-Shaf: 6). Wallahu a'lam...


Baca Juga :
- Arti Allah SWT
- Allah dalam Sejarah Arab
- Hukum Kawin Kontrak dalam Islam
- Kumpulan Kisah Para Muallaf dan Alasan Mereka Masuk Islam
- Perang dan Jihad dalam Islam
- Benarkah Islam Melegalkan Perang Terhadap Orang-orang Kafir?
- Benarkah Islam Memaksa Orang Lain Masuk Islam?
- Adakah Jaminan Keselamatan dalam Islam?
Selengkapnya...

Pelajaran Berharga dari Rumput

"Dialah Allah yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kalian"
(Al-Baqarah: 29)

Allah SWT tidak menciptakan satu makhluk pun dengan sia-sia. Semua ciptaan-Nya pasti punya maksud. Tak terkecuali rerumputan liar yang kadang kita anggap sebagai "perusak" keindahan lingkungan. Lihatlah akarnya yang lembut dan batangnya yang tanpa baja. Mungkin kita akan merasa aneh jika ada orang mengatakan: "Akar 'rumput' mampu menembus lapisan semen yang keras. Lantas terlintas dalam pikiran kita: "Jika jarum yang tajam saja bisa jadi bengkok bahkan patah saat ditancapkan di atas lapisan semen, bagaimana mungkin akar rumput mampu menembusnya?" Memang benar, tapi tak selamanya demikian.

Percaya atau tidak, kemampuan akar 'rumput' ini bukanlah suatu khayalan tapi fakta. Akar rumput segar yang tertimbun dalam tanah di bawah lapisan semen akan tetap berusaha mempertahankan hidupnya selama ia masih memperoleh oksigen dan makanan. Ia terus berkembang secara perlahan-lahan hingga berhasil muncul ke permukaan dengan menembus lapisan semen. Waktu yang dibutuhkannya memang tidak sedikit. Bisa berhari-hari, satu minggu, satu bulan atau lebih. Namun justru kurun waktu dan proses inilah yang menunjang keberhasilannya. Ini adalah sebuah rumput, jenis tumbuhan kecil. Jika jenis tumbuhannya mempunyai akar yang lebih besar dan kuat tentunya peluang untuk keberhasilannya akan lebih besar.

Apa yang terjadi pada rumput ini merupakan i'tibar yang dapat dijadikan pelajaran. Banyak hal yang kadang dianggap mustahil untuk dicapai padahal itu sangat memungkinkan. Sebagai contoh, lihatlah betapa tak sedikitnya orang (bahkan kita sendiri) yang merasa terkagum-kagum terhadap kemampuan seseorang untuk menghafal al-Qur'an, Shahih Bukhary, dan lainnya dengan nilai mumtaz, menyusun banyak kitab, berorasi di depan ratusan ribu manusia, atau ta'jub terhadap kekayaan orang lain. Di dalam hati timbul perasaan tak mampu seperti itu, padahal jika kita mau pasti bisa. Cuma yang menjadi masalah adalah hasil yang wah itulah kadang yang menjadi fokus perhatian utama. Mereka yang sukses dianggap terlalu hebat, pintar, kuat dan segalanya. Mata kita seakan-akan buta terhadap proses yang mereka lalui. Kita tidak melihat bahwa predikat sukses yang mereka sandang adalah hasil 'keringat' dari fase perjuangan yang tak sedikit.

Saat ada keinginan dan usaha untuk menjadi seperti orang sukses yang kita anggap hebat itu kita tergesa-gesa, tidak sabar, ingin sesegera mungkin sampai pada level mereka tanpa melewati proses yang muluk. Sementara kemampuan yang dimiliki juga belum seberapa. Dipaksakanlah diri. Walhasil seperti jarum yang bengkok karena ditancapkan dengan cara paksa di atas permukaan semen tadi. Akhirnya tumbuhlah perasaan lemah, tidak percaya diri. Impian pun akhirnya pergi dibawa oleh waktu.

Semua tujuan haruslah sesuai dengan prosesnya. Akar 'rumput' mampu menerobos lapisan semen adalah karena ia melalui proses yang tepat dan benar. Tentu harus disertai dengan kesabaran (الصبر يعين على كل عمل) dan juga kesungguhan (من جدّ وجد). Jika tidak, hasilnya pun tidak tepat. Bahkan akan bisa bertolak belakang seperti halnya jarum tadi.
Selengkapnya...

Manusia dan Pengaruh Lingkungan

Manusia terlahir ke dunia tanpa apa-apa, tidak tahu apa-apa, tidak bisa berbuat apa-apa. tidak kenal siapa-siapa....

Saat sudah mulai bisa mengenal lingkungan dan melihat keadaan sekitar, akal pikirannya sedikit demi sedikit mulai terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengar, perasaannya juga menjadi terikat.

Ketika melihat hal-hal baru yang menarik perhatian dan yang bersifat menghibur, akalnya menilainya sebagai sesuatu yang baik meski pun kadang pada kenyataannya tidak demikian. Orang-orang yang ada di dekatnya juga turut mempengaruhi keyakinan, cara pandang dan prilakunya, lebih-lebih yang dia senangi. Kata-kata. prilaku dan sifat mereka lebih sering dia anggap benar. Sehingga apa yang mereka benarkan turut dia iyakan, yang mereka salahkan dia salahkan juga.

Keyakinan dan cara pandang yang dia serap ini akan semakin kuat di dalam jiwanya ketika dikuatkan dengan dogma-dogma, yang meski jauh dari akal sehat. Jika dogma sudah mengakar dan menyatu dengan jiwanya, dia akan menjadi orang yang sangat inklusif, menutup diri dari ide dan pendapat orang lain yang membawa pencerahan dan kebenaran.
Sudah terlalu banyak contoh manusia yang terjerumus dalam kekangan pola pikir dan dogma yang melenceng. Mereka ada dimana-mana, sejak jaman pra-sejarah hingga era teknologi ini. Tidak menutup kemungkinan di antara keluarga kita – bahkan kita sendiri – ada di antara mereka.
Manusia seperti ini memang butuh bantuan penyelamat. Namun apa dan bagaimana pun cara orang lain membantunya, dia tidak akan bisa keluar dari pola pikir yang keliru dan dogma yang melenceng itu tanpa kemauan dan keterbukaan dia sendiri.
Selengkapnya...