Kepekaan dan Kepedulian Sosial

Di tengah perjalanan antara Tonto dan Kairo kemarin (11/2/2009), saya coba untuk memanfaatkan waktu sejenak untuk istirahat. Mataku baru saja terpejam untuk tidur, "Darrrr….!" suara mobil terhempas kudengar datang dari arah samping kiriku. Kubuka mata sambil memalingkan wajah ke arah seberang jalan, "innaalillah…!" sebuah truk mini pengangkut barang dagangangan terbalik di jalan raya. Sopir mobil angkutan bermuatan 15 orang yang saya tumpangi langsung mengerem mobil dan meminggirkannya. Para penumpang berhamburan keluar dan berlari ke arah truk itu. Mobil-mobil pribadi, angkutan dan dagang yang sedang melaju juga langsung berhenti untuk memberikan pertolongan. Hanya dalam hitungan detik, puluhan orang sudah berkerumun memberikan bantuan kepada awak truk yang naas itu.

Aku kagum! Mereka itu masih sempat-sempatnya menolong orang yang tidak mereka kenal latar belakangnya, organisasi, suku, agama dan partainya. Mereka tidak peduli waktu perjalanan tersita jika itu untuk menyelamatkan orang lain.

Aku takjub pada kepekaan dan kepedulian mereka terhadap orang yang membutuhkan pertolongan.

Pemandangan di atas sangat berbeda jauh dengan apa yang pernah saya lihat di sebuah perbatasan di Sumatera bagian selatan sekitar 6 tahun yang lalu. Sebuah truk terperosok ke dalam kubangan jalan yang rusak parah. Para awaknya berusaha keras mengeluarkannya dari lubang tersebut dengan sekuat tenaga, namun tidak berhasil. Sementara puluhan pengemudi kendaraan yang lewat hanya bisa melihat-lihat sambil terus jalan, malah ada yang pura-pura tidak tahu apa-apa. Tidak ada kepekaan dan kepedulian bagi mereka. Kalau pun ada yang peduli, hanya sebatas ungkapan basa-basi. Alasan waktu dan kepentingan kadang memang menjadi alasan, tapi rasanya tidak mungkin jika semua pengemudi yang lewat mempunyai alasan yang harus diprioritaskan. Melihat fenomena seperti ini, sebuah pra-sangka lalu muncul: mungkin saja yang terlintas di pikiran sebabagian di antara mereka sewaktu itu: siapa juga mereka bagi saya, mereka bukan keluargaku, bukan temanku, bukan siapa-siapaku. Kalau pun saya bantu, apa juga gunanya bagi saya selain hanya akan menyita sebagiaan waktu perjalanan saya. Imbalan dari mereka? Saya tidak butuh, yang ada di tangan saya sudah cukup bahkan lebih.

Pikiran seperti ini memang dapat diterima jika dipandang dari ‘mata’ keegoisan. Namun bagaimana pun juga, egoisme bukanlah sifat yang lebih menguntungkan.
Egoisme, selain tidak menambah kehormatan, hanya akan menurunkan kewibawaan.
Egoisme, selain tidak menambah sahabat, hanya akan membuat orang menjauh dari kita.
Egoisme, selain berat memberikan manfaat hanya akan menutup pintu manfaat dari orang lain.

Egoisme, selain menjadikan terasing di tengah keramaian, hanya akan menghalangi diri dari nikmatnya keberadaan orang lain.

Sebaliknya kepekaan dan kepedulian sosial akan membuat seseorang lebih banyak menikmati hidup di tengah keberadaan orang lain. Perhatian dan bantuannya – dalam bentuk apa pun – kepada orang lain membuatnya merasa senang, dada dan pikirannya terasa lapang dan damai. Kenikmatan batin semacam ini akan berlipat ganda jika dibarengi dengan niat ikhlas karena mengharap rido Allah Swt.

Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin telah memberikan petunjuk-petunjuk mu’amalah (interaksi sosial) dan mengatur hak-hak individu dengan yang lainnya. Ajaran kasih sayang, kewajiban zakat fitrah dan zakat harta, anjuran-anjuran berinfaq dan bersedeqah, petunjuk agar saling tolong menolong di dalam kebaikan dan taqwa, ajaran persaudaraan, hak-hak tetangga, perintah agar berlaku adil dan petunjuk-petunjuk mu’amalah lainnya merupakan ajaran-ajaran kepekaan dan kepedulian sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komen2nya yg damai2 aja ya Sist & Bro! Thanks.